Bilur-bilur

776 59 0
                                    



Dengung tahrim subuh dari toa mushola mengetuk telinga. Netra pelan terbuka, menatap langit-langit kamar dengan bolam lampu mungil yang masih menyala. Seekor cicak tanpa ekor tampak merayap pelan di dekat lampu.

Tubuhku menggeliat mencoba bangun dari tempat tidur. Tulang-tulang terasa rontok.

Tok tok tok!

Bunyi ketukan di pintu rumah.

"Ras, bukain Abang pintu!" Suara Bang Kemal di luar jendela kamar.

"Iya, Bang. Bentar," sahutku serak.

Susah payah aku beranjak bangun. Urat kepala berdenyut-denyut nyeri.

Pintu terbuka. Angin di luar berembus dingin. Tetesan embun tampak berjatuhan dari langit yang masih gelap.

"Lama banget bukainnya," gerutu Bang Kemal. Alis hitam itu bertaut menatapku. Kedua tangannya memeluk tubuh sendiri sambil mengigil

"Badanku sakit semua, Bang. Pala pening. Abang kenapa baru pulang?" tanyaku sengau.

"Ketiduran di pos ronda, habis hujannya gak kira-kira." Dia langsung masuk melewatiku.

Pintu kututup, lalu duduk menggelosor di atas lantai. Otot-otot terasa lemas, badanku demam. Bang Kemal urung melangkah. Berhenti di depan pintu kamar mengamatiku. Dia berbalik mendekat lalu jongkok di depanku.

"Kamu sakit?"

"Gak tau." Aku menggeleng lemah.

"Pengaruh hamil kali, Ras. Hari ini kamu istirahat aja dulu! Motor Abang kan sudah bisa buat ngojek," ucapnya sembari memegangi dahiku.

Ah, perhatian kecilnya pun bisa membuat hatiku meleleh. Andai Bang Kemal selalu bersikap manis begini.

Aku mengangguk setuju. Tak mungkin aku memaksakan diri bekerja dengan kondisi seperti sekarang.

______________________________________


"Kalau ada apa-apa ndak usah sungkan ketuk pintu rumahku, Nduk." Mbah Darmi siang itu menengok keadaanku di rumah. Bang Kemal belum pulang dari ngojek.

"Aku gak papa kok, Mbah. Cuman pusing. Mungkin kecapean," sahutku.

"Ibu hamil itu musti pinter jaga kesehatan. Tadi Mbah bikin bobor sayuran, ta bawain semangkuk buat kamu," ujarnya dengan senyum lembut.

Selama ini Mbah Darmi memang sangat baik pada semua penghuni kontrakan. Janda tua itu hanya tinggal berdua dengan Rendi anak bontotnya. Suaminya yang pensiunan tentara sudah lama berpulang. Dua orang anak lagi sudah berkeluarga tinggal di kota lain.

"Mumpung masih anget, bagus lho ini buat ibu hamil. Anak perempuan Mbah kalau hamil sering Mbah buatin juga."

Menghargai Mbah Darmi, aku segera duduk dari tempat tidur. Menyibak selimut yang menutupi tubuh. Meraih mangkok berisi bobor sayur yang diletakkannya di atas nakas, lengkap dengan sebuah sendok.

"Kayanya enak," ujarku memandangi isi mangkok yang masih mengepulkan asap. Aroma sayur bayam dan bawang goreng menggugah selera.

"Astagfirullohal adziim ...." Mbah Darmi menggumam. Air mukanya berubah cemas.

"Kenapa, Mbah?" tanyaku heran.

"Itu lho, Nduk. Kok banyak bilur-bilur di tengkuk kamu?" Dia menunjuk ke arahku.

Sontak satu tanganku mengusap tengkuk sendiri.

"Nauzubilah min dzalik ...." gumamnya lagi disambung ta"awuz.

JANDA TUJUH KALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang