Nenek Jurik

820 60 0
                                    



Raut Bang Kemal tampak kecewa. Entah dengan rautku. Napas kami sama tersengal. Hasrat sudah membumbung tinggi ke langit-langit. Namun, lelakiku bak tanaman yang lupa disiram berminggu-minggu. Layu kerontang.

Aku hanya bisa menatapnya iba. Ada rasa bersalah bahwa dirikulah yang tak mampu membuat lelaki itu tersentuh. Bang Kemal tak biasa begini. Suamiku selalu perkasa di ranjang kami. Satu kelebihannya yang membuat cintaku berlapis-lapis.

Sembari menghempaskan napas berat dia bangkit dari atas tubuhku. Mengenakan lagi boxernya, lalu meraih sebatang rokok dari atas kabinet.

"Kenapa, Bang?" lirihku hampir tak terdengar. Menatap nanar garis kecewa yang masih melekat di wajahnya.

Tess ....

Bunyi pematik api membakar ujung rokok di sela jari Bang Kemal..

"Kepala Abang pening, Ras. Kamu tidur saja. Pakai lagi dastermu!" titahnya sambil menghisap rokok itu dalam-dalam.

Kepulan asap putih kemudian memenuhi ruang kamar kami yang tak seberapa luas. Aku segera bangkit dari tempat tidur. Meraih under wear yang sudah berceceran di lantai. Menangisi diri dalam hati.

"Ya, sudah," desisku. Kupakai lagi daster buluk merah jambu.

"Hum," sahut Bang Kemal. Matanya tampak terpejam, duduk di lantai  kamar bersandar pada tembok. Satu tangannya memijiti pangkal hidung.

"Mau Saras ambilin obat pusing, Bang?" tawarku sembari berdiri menuju pintu.

"Nggak usah."

Cuaca malam ini terasa dingin menusuk tulang. Deru angin di langit terdengar sampai ke dalam rumah. Sepertinya akan turun hujan.

Saat kumasuki kamar mandi, tercium bau amis yang menyengat. Terburu kuselesaikan buang air kecil. Sambil mata menyapu sekeliling. Mencari asal bau amis mirip bau darah ikan.

Brakk!!

Bunyi cukup keras dari pintu depan yang ditutup tergesa.

Bang Kemal?

Aku berlari ke arah luar berusaha mengejarnya.

"Bang! Abang mau ke mana?" tanyaku dari depan pintu melihatnya sudah ada di luar rumah.

"Bang, pulangnya jangan terlalu malam!" Setengah berteriak aku mengingatkan dari pinggir jalan.

Lelaki itu tak menyahut. Kulihat dia hanya mengenakan celana pendek dengan bertelanjang dada. Selembar baju kaos tersampir pada bahunya. Berjalan terburu menuju muara gang dengan rokok yang masih menyala di tangan.

Kubiarkan Bang Kemal berlalu. Mungkin dia hanya cari angin ke pos ronda. Tak apalah. Sepertinya Bang Kemal begitu suntuk karena kami gagal bercinta malam ini.

Wuuussshhh ....

Angin datang dengan kencang. Sampah-sampah kecil yang berceceran di jalan tampak beterbangan. Aku menatap ke atas langit. Kilat menyala-nyala. Gulungan awan hitam memenuhi angkasa.

Dalam hati aku mengeluh, kenapa Bang Kemal harus keluar rumah dalam cuaca seperti ini. Kalau hujan lebat tentu dia tak bisa kembali ke rumah. Alamat Bang Kemal akan terdiam lama di pos ronda. Aku takut sendirian di rumah malam-malam begini.

Hatiku tergelitik saat akan masuk ke dalam rumah. Tanpa sengaja menoleh ke rumah di samping. Dari dalam rumah Shela tidak terlihat bias terang lampu. Semua jendelanya tampak gelap. Hanya lampu kecil di teras yang menerangi.

Apa kabar si biduan gatal? Dua hari ini aku tak melihat batang hidungnya.

Sepertinya perempuan sudal itu sedang tak ada di rumah. Mungkin lagi ada orderan manggung di luar kota. Baguslah kalau dia sering tak ada di rumah seperti ini.

JANDA TUJUH KALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang