Masuk Perangkap

626 53 1
                                    



Bingung bercampur takut. Aku menatap tak percaya pada bentuk tubuhku yang berubah hanya dalam hitungan menit. Perut yang sebelumnya masih rata, tiba-tiba sudah membuncit layaknya sedang hamil besar.

Dengan perasaan tak karuan, kuraba dinding perut yang terasa mengencang. Tampak urat berwarna kebiruan bercabang-cabang di area kulit perutku. Mengerikan.

Ya, Tuhaan! Apa yang terjadi pada perutku? Penyakit apa ini?

Apa ada yang salah?

Kembung gegara aku mandi tengah malamkah ini?

Berbagai pertanyaan berkecamuk  memenuhi benak. Aku khawatir pada anak dalam perutku.

Kondisi keuangan begini sulit, ada saja masalah yang datang. Aku tak punya muka, kalau harus minta bantuan Bik Farida lagi. Kedua netra seketika mengembun, memikirkan kemungkinan harus opname di rumah sakit.

Gegas kukenakan pakaian. Tertatih aku keluar dari rumah, sembari memegangi perut yang tiba-tiba terasa berat.

****

Tok tok tok!

Pintu rumah salah satu tetangga kuketuk. Siapa tahu dia lebih tahu, apa yang sedang terjadi pada kehamilanku.

"Buk Leha ...," panggilku pelan. Khawatir akan membangunkan seisi gang.

Sepi, tak ada tanda kalau penghuni kontrakan di depanku terbangun.

"Buk ..., Buk Leha ..., ini Saras, Buk. Tolong bukain pintu!" ulangku lagi, sambil mengetuk dekat jendela kamarnya.

Kutunggu beberapa saat. Masih  sepi. Nyenyak sekali tidur mereka. Akankah mereka marah, kalau aku mengetuk lebih keras lagi? Hati tiba-tiba gamang

Aku khawatir sakitku akan bertambah parah, kalau kondisi ini kubiarkan sampai besok. Aku harus membangunkan salah satu tetanggaku malam ini juga.

Keluar dari teras rumah Buk Leha. Kebingungan berdiri di tengah jalan.  Nasib, hidup tak punya siapa-siapa. Hanya bisa mengandalkan diri sendiri.

Kupandangi deretan rumah kontrakan di sekelilingku. Suasana senyap dan mencekam. Udara dini hari mulai berkabut. Aneh, cuaca di luar sedingin ini, aku malah kepanasan di dalam rumahku.

Rumah siapa lagi yang harus kuketuk?

"Buk Siti ...." Aku berpindah pada pintu rumah tetangga di samping Buk Leha. Kuketuk berulang kali. Pintu itu tak juga terbuka.

Berpindah lagi ke pintu lain.

"Ren ... Rendi, tolongin Mbak, Ren!" Rendi pun sepertinya tak mendengar suaraku.

Aku terus berpindah dari pintu ke pintu rumah tetangga. Kupanggil dan kuketuk. Tak ada satu pun tetangga yang membukakanku pintu. Napas sudah tersengal.

Aku lelah.

"Tolooong!" teriakku serak di tengah jalan gang berpaving itu.

Nihil.

Teriakanku tak bisa memancing satu orang pun keluar dari rumah. Gang tempat tinggalku seakan berubah menjadi tempat mati. Seperti pemukiman yang sudah lama ditinggalkan penghuninya.

Kenapa dengan mereka? Tak adakah lagi yang peduli padaku?

"Siapapun yang mendengar suaraku, keluarlah, tolong aku!" pintaku terisak.

"Grrrrh ...."

Suara geraman binatang membuatku tersentak. Seekor anjing hitam berukuran besar tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Matanya merah menyala.

JANDA TUJUH KALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang