3

1K 154 3
                                    

Yoohyun pertama kali melihat kakaknya menangis ketika mereka mendengar kabar kematian kedua orang tua mereka--kecelakaan di tengah perjalanan, kata mereka.

Selama Yoohyun mengenal kakaknya, Yoojin adalah sosok yang tegar dan kuat. Seseorang yang ceria dan membawa tawa di rumah mereka yang sepi. Yoohyun hampir yakin tidak ada yang bisa menghancurkan api kehidupan kakaknya yang membara.

Di hari itu, Yoohyun diingatkan kembali bahwa kakaknya hanya seorang remaja biasa.

Mungkin seharusnya Yoohyun juga ikut menangis. Ikut menunjukkan kesedihan secara visual di pemakaman orang tua mereka dan menghindari tatapan aneh dan bisikan-bisikan mengenai dirinya; tentang kenapa seorang anak berusia dua belas tahun tidak menangis di pemakaman orang tuanya sendiri.

Bagaimana Yoohyun bisa menangis? Untuk apa? Orang tua Yoohyun hanya orang tua dalam nama. Mereka belum pernah melakukan apapun yang bisa membuat mereka pantas disebut sebagai orang tua Yoohyun. Secepat mungkin mereka angkat tangan atasnya, menimpalkan semua tanggung jawab untuk mengurusnya pada Yoojin.

Yoohyun tidak punya ikatan apapun terhadap orang tuanya selain ikatan darah. Sejak lama, baginya, Yoojin adalah satu-satunya keluarganya dan hal ini tidak akan berubah meskipun saat orang tua mereka masih hidup.

Meskipun begitu, ia tahu Yoojin adalah anak yang baik. Benar-benar baik. Tidak seperti dirinya. Meskipun Yoojin hanya pernah diurus orang tuanya selama Yoohyun belum dilahirkan, ia tahu Yoojin tetap akan merasa sedih.

Memang kalau dipikirkan secara logis, kematian orang tuanya tidak akan berdampak baik bagi mereka. Sekarang tidak ada sosok yang bisa membantu mereka secara finansial.

Yoohyun tahu itu bukan hal yang terlintas di kepala kakaknya. Benar saja, ketika Yoohyun menoleh pada kakaknya, ia memasang sebuah senyum, meski matanya masih memancarkan sebuah kesedihan mendalam.

"Kakakmu baik-baik saja, Yoohyun," ia berujar melihat wajah khawatir Yoohyun.

Apa salahnya jika Yoohyun lebih peduli dengan kondisi kakaknya dibanding dengan kematian orang tuanya? Seumur hidupnya, Yoohyun hanya mengenal Yoojin.

"Kamu pasti lapar, 'kan? Kakak carikan kamu makan ya?"

Yoohyun ingin mengutuk sebal melihat kakaknya malah memedulikannya dibanding mengurus dirinya sendiri, tapi ia memutuskan untuk diam saja dan mengangguk, mengeratkan pegangannya pada tangan Yoojin.

Kakaknya itu melihatnya dengan tatapan melankolis, seperti tengah menganggap Yoohyun adalah satu-satunya yang dia punya sekarang. Hal ini sudah berlaku untuk Yoohyun sejak lama, sejak sepanjang yang dia ingat dan dia sedikit senang kini kakaknya mulai berpikir seperti itu juga.

Bukan berarti dia suka dengan kesedihan yang meriasi wajah Yoojin.

Itu salah. Salah, salah, salah.

Wajah Yoojin seharusnya penuh dengan senyum dan bunga. Matanya besar membulat dengan kedua ujung bibirnya tertarik ke atas dalam senyuman.

Yoohyun kembali diingatkan dengan rasa bencinya terhadap orang tuanya. Pertama, mereka bahkan tidak melakukan peran mereka sebagai orang tua. Siapa orang tua waras yang meninggalkan kedua anak mereka yang masih kecil dan belum cukup umur untuk terus berpergian keliling dunia? Kedua, kini kepergian mereka secara permanen hanya membawa kesedihan bagi kakaknya.

Benar-benar tidak berguna, Yoohyun sempat berpikir. Ia pernah berharap agar kedua orang tuanya tidak ada sejak awal supaya Yoojin tidak perlu direpotkan keduanya, tapi itu tidak akan masuk akal, apalagi nyaman.

Ditambah lagi, kematian kedua orang tuanya membawa sedikit kekacauan kepada kondisi sekolah Yoojin. Ketika Yoohyun mendengar keputusan kakaknya untuk berhenti sekolah demi bekerja--dengan tujuan mengumpulkan uang untuk Yoohyun bersekolah sampai kuliah--, ia menangis. Lucu memang; seharusnya yang menangis adalah Yoojin. Lagi pula, dia juga yang akan berhenti bersekolah dan bekerja. Namun, kenyataan bahwa kini kakaknya harus berkorban demi kebahagiaannya membuat dirinya merasa bersalah.

Lied ; Han Yoojin & Han Yoohyun [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang