1

1.4K 182 2
                                    

Yoohyun tahu apa yang orang lain bicarakan tentangnya ketika mereka mengira dia berada di luar jangkauan pendengaran. Yoohyun tahu apa arti dari tatapan-tatapan orang sekitarnya.

Sejak Yoohyun mengerti kata-kata, ia tahu ia adalah anak 'aneh'.

Tidak usah jauh-jauh, orang tuanya saja takut padanya. Jika diinterogasi orang lain, mungkin mereka akan menjawab bahwa Yoohyun memberikan mereka aura yang buruk. Aura yang seolah-olah mengatakan bahwa anak ini berbahaya, tak peduli seberapa muda dirinya. Dan orang lain itu akan setuju dengan mereka.

Yoohyun sudah biasa dengan perlakuan orang lain padanya. Semuanya bersikap seakan-akan dia adalah alien yang tidak bisa dimengerti. Terlalu sibuk berbicara di belakang daripada mencari cara untuk berkontak dengannya.

Semua orang kecuali Yoojin.

Kakaknya itu yang mengurus dia sejak orang tua mereka mulai menjauh kedua anaknya, meskipun Yoojin tidak melakukan kesalahan apapun kecuali dekat-dekat dengan adiknya.

Yoojin melihat adiknya yang 'aneh'. Ia melihat tingkah orang tuanya terhadap adiknya. Ia melihat perlakuan semua orang terhadap adiknya.

Ia melihat bagaimana seluruh dunianya menjauhi adiknya dan ia tetap memilih Yoohyun.

Tidak ada orang yang akan memarahinya jika Yoojin bersikap sama seperti mereka. Mungkin Yoojin bisa merasakan kasih sayang kedua orang tuanya tanpa dirinya itu.

Meskipun begitu, Yoojin tetap memilih Yoohyun.

Awalnya, saat Yoohyun masih muda--bukan berarti dia tidak masih muda sekarang--, ia mengira Yoohyun tetap mengurusnya hanya untuk mencari perhatian saja. Hei, cerita mengenai seorang kakak yang berjuang penuh untuk adiknya itu bisa menjadi cerita yang sangat populer di kalangan orang tua tahu.

Ia membuang teori itu jauh-jauh di ulang tahun keenamnya--ketika ia mendengar sesuatu yang ia pikir seharusnya tidak ia dengar.

Kala itu, sehari sebelum Natal dan setelah bermain di taman seharian, Yoojin menyuruhnya untuk duduk di ayunan sebentar seraya ia pergi membeli bahan makan malam hari itu. Yoohyun mengangguk patuh dan duduk diam di ayunan, mengamati orang-orang berlalu di depan taman.

Ketika sepuluh menit berlalu tanpa tanda-tanda bahwa Yoojin akan segera kembali, Yoohyun mulai cemas.

Tidak mungkin 'kan dia ditinggalkan di taman sendirian oleh kakaknya?

Meskipun dia harus melawan perintah Yoojin, Yoohyun turun dari ayunan, dengan hati-hati karena tubuh pendeknya, dan berjalan menuju supermarket yang berada di ujung jalan. Mungkin Yoojin sedang kesusahan dan membutuhkan pertolongan seseorang. Ia dapat melihat titik-titik salju di sekitar. Yoojin pasti kedinginan. Kakaknya hanya keluar dengan jaket tipis.

Belum juga ia sepenuhnya keluar dari taman itu, Yoohyun sudah dapat melihat figur kakaknya berdiri di tengah trotoar tak jauh darinya. Ia bingung Yoojin sedang berbuat apa sebelum akhirnya dia melihat dua orang tengah berbicara kepada kakaknya.

"Kamu kenapa masih ngurus si anak aneh itu?"

Ah. Ini pembicaraan yang seperti itu toh.

Yoohyun buru-buru bersembunyi di balik tembok taman. Bukannya dia tidak mau membantu kakaknya, tapi Yoohyun tahu jika dia memanggil kakaknya sekarang, pembicaraan tadi malah akan berubah menjadi lebih buruk.

Lagi pula, dia mengenal kedua orang tersebut. Dua-duanya adalah anak-anak dari komplek sekitar taman ini. Kalau tidak salah, umur mereka tidak jauh lebih tua dari Yoojin, tapi kelakuannya malah membuat mereka terlihat seperti lebih muda. Benar-benar kekanak-kanakkan.

"Kalian ini benar-benar tidak ada kerjaan ya? Sepertinya aku cuma pernah melihat kalian cari ribut saja," Yoohyun mendengar Yoojin membalas tanpa takut.

"Ck! Kamu masih belum menjawab pertanyaanku, bodoh!" seru anak A--karena Yoohyun tidak tahu nama mereka, lebih baik diberi nama abjad saja. "Kalau kamu enggak ngajak anak itu ke taman ini lagi, aku bolehin kamu untuk masuk gengku. Gimana?"

"Haha, usul bagus, 'kan? Aku lihat kamu jarang main karena ada anak aneh itu," tawa anak B mengecoh.

Nampaknya mereka tidak sebodoh yang ia kira. Yoohyun tidak pernah melihat Yoojin bermain dengan teman seumurannya, kecuali di sekolah. Mungkin saja kali ini kakaknya itu mempunyai kesempatan untuk bermain lebih lagi, meskipun teman mainnya adalah anak-anak tidak tahu diri seperti A dan B.

"Siapa yang mau main sama kalian?!" Yoojin berseru lantang, sampai-sampai membuat Yoohyun tersentak. Ia mengintip kembali untuk melihat Yoojin memelototi kedua anak di depannya dengan tangan yang tidak memegang kantong belanja menunjuk-nunjuk marah. "Kalian enggak seru! Enggak sopan! Pergi aja sana!"

"Haah?!" Wajar saja, A dan B kaget tiba-tiba diteriaki anak yang sebelumnya mereka selalu ganggu.

"Memangnya kamu enggak tahu kalau adik kamu itu aneh banget?" B bertanya, jelas-jelas bingung kenapa rencana mereka gagal. "Kamu kenapa malah milih anak aneh itu daripada main sama kita?"

"Terus kenapa?!" bentak Yoojin masih kesal. "Yoohyun enggak aneh! Dia adik yang baik. Kalian pasti cuma iri enggak punya adik baik seperti Yoohyun."

"Buat apa iri punya adik seperti anak itu?" A bertanya balik, setengah terkekeh.

"Lihat saja, kami beri tahu yang lain buat menjauhi kamu," B menyahuti.

"Enggak peduli. Kalau kalian lebih jauh, lebih baik!" Yoojin menjulurkan lidahnya ketika kedua anak menyebalkan itu berlari menjauh. Bahkan setelah mereka berdua pergi, Yoojin tetap berdiri di sana, menggerutu sebal.

"Yoohyun punya perasaan tahu. Enggak sudi dengerin perkataan mereka."

Sebenarnya Yoohyun tidak peduli lagi ia dipanggil anak aneh atau harus menghadapi anak-anak lain seperti A dan B, tapi Yoojin selalu marah karena memihaknya.

Daripada menghabiskan waktu menonton kakaknya menggerutu sebal di trotoar, Yoohyun memutuskan untuk menampakkan dirinya.

"Kakak!"

Dengan antusiasme yang sama seperti ketika anjing mencium bau makanan, Yoojin menoleh cepat begitu mendengar Yoohyun memanggilnya.

"Yoohyun! Maaf, sudah menunggu lama ya? Kamu sampai keluar dari taman," Yoojin buru-buru berjalan menghampirinya meskipun tangannya penuh dengan belanjaan. "Maaf tadi antriannya agak panjang. Jadi Kakak agak lama."

Yoohyun tahu kakaknya berbohong, tapi ia diam saja.

"Enggak pa pa, kak. Aku cuma takut Kakak tersesat."

"Tersesat? Enggak lah, Yoohyun." Yoojin tertawa mendengarnya. Mungkin di matanya, Yoohyun hanya seorang adik polos yang khawatir akan kakaknya. "Oh, kakak ketemu kue kesukaanmu di toko! Besok tinggal beli lilinnya deh."

Uangnya dari mana? Yoohyun bertanya dalam hati sebelum tersadar. Pasti dari uang jajan Yoojin yang dikumpulkan selama hampir setahun. Dia saja tidak membeli kue di hari ulang tahunnya sendiri.

"Hore! Nanti kuenya kita bagi dua ya!" Yoohyun memasang senyum terbaiknya, membiarkan kakaknya berpikir ia tidak tahu apa-apa.

"Iya, iya," Yoojin membalas senyumannya. "Ya sudah, yuk kita pulang. Nanti kamu kedinginan. Salju mulai turun nih."

Sementara Yoojin melanjutkan pembicaraan mengenai bermain salju di hari esok di perjalanan pulang, Yoohyun mendengarkan dengan beberapa jawaban afirmatif dengan tangannya yang digandeng kakaknya.

Melihat wajah ceria Yoojin, meskipun baru saja beberapa menit yang lalu ia marah-marah dengan muka masam, Yoohyun tidak bisa menahan senyumannya sendiri. Mood-nya naik melihat kakaknya bersemangat merencanakan hari ulang tahunnya besok.

Yoohyun tahu kakaknya tidak akan pernah memberi tahu apa-apa mengenai pendapat orang-orang sekitarnya mengenai dirinya, apalagi mengenai kata-kata cemooh yang ditujukan padanya, sama seperti Yoohyun yang tidak akan memberi tahu Yoojin kalau kata-kata seperti itu tidak akan mempengaruhinya, karena ia menghargai usaha kakaknya.

Apapun yang terjadi, Yoohyun hanya ingin Yoojin memiliki adik yang polos dan sempurna.

Lied ; Han Yoojin & Han Yoohyun [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang