2

1K 161 3
                                    

Yoohyun sendiri tidak tahu apa yang 'aneh' dari dirinya.

Ia selalu mendengar kata itu dilontarkan padanya, tapi ia tidak tahu kenapa. Hal 'aneh' bagi orang lain itu normal baginya. Lagi pula, ia hidup sebagai dirinya sendiri sepanjang detik, 'kan?

Layaknya seorang bayi mengetahui namanya karena semua orang memanggilnya itu, Yoohyun tahu dirinya 'aneh' karena semua orang berkata seperti itu.

Yah, semua orang kecuali kakaknya.

Wajar saja jika Yoohyun awalnya bingung. Di masa kehidupan awalnya, ia bingung total, tidak bisa menemukan satu alasan pun--kenapa kakaknya mau merawatnya, kenapa kakaknya mau bermain dengannya. Ketika ia mulai memasuki TK, ia mulai berpikir yang macam-macam.

Sekarang, Yoohyun tahu kakaknya itu hanya sayang padanya.

Sayang. Sungguh sebuah kata yang tidak akan dikenal Yoohyun jika tidak ada Yoojin di dalam hidupnya.

Di semua memori Yoohyun--dari memori pertamanya--semua hal yang bisa dikaitkan dengan kakaknya itu hanya itu saja. Sayang. Kasih. Cinta. Dan rasanya tidak ada apapun yang bisa mengubah pendiriannya. Setidaknya tidak sampai saat ini dan yang ia harapkan sampai kapanpun.

Yoohyun puas sampai situ saja.

Biasanya, dia akan terus bertanya-tanya. Memikirkan sebuah masalah sampai ia menemukan jawaban yang konkrit. Jawaban yang bisa dimengerti oleh logikanya. Toh itu sudah seperti tugasnya. Berlaku tidak sesuai dengan standar sosial yang dipegang orang di sekitarnya.

Di usianya yang semakin mendekati dua angka, Yoohyun awalnya masih belum mengerti alasan dibalik kasih sayang kakaknya itu.

"Kak, aku ini aneh ya?"

Yoojin langsung mengalihkan perhatiannya dari sayuran yang tengah dipotongnya, pisau yang dipegang di tangannya terlihat hampir jatuh. Kedua mata kakaknya terbuka lebar.

Setelah beberapa detik komat-kamit tanpa suara, Yoojin akhirnya bertanya, "Siapa yang bilang seperti itu padamu, Yoohyun?"

Mulut Yoojin ditekuk. Kedua alisnya bertaut erat. Ditambah dengan pisau yang masih dipegangnya, Yoojin terlihat menyeramkan untuk seorang anak empat belas tahun.

"Aku sering mendengarnya ketika di sekolah," Yoohyun memutuskan untuk menjawabnya dengan sedikit ambigu. Tidak ingin terlalu berbohong pada kakaknya. Masalahnya, kalau ia jujur, mereka bisa berada di sini sampai besok pagi karena daftarnya memang sepanjang itu.

"Oh, Yoohyun." Yoojin meletakkan pisaunya di atas talenan dan mendekati adiknya yang tengah duduk di kursi lain. Ia lebih terlihat sedih dibanding marah sekarang. "Jangan mempedulikan kata mereka ya? Mereka orang yang jahat mulutnya. Kamu enggak aneh kok."

"Tapi rasanya semua orang menganggapku seperti itu," Yoohyun berusaha memancing kakaknya lagi. Mungkin bukan pilihan yang terbaik, melihat kesedihan yang semakin terpancar dari Yoojin, seakan-akan dia yang sedang diejek, bukan Yoohyun.

"Yoohyun, dengar kakakmu ini. Kamu itu enggak aneh, oke? Yoohyun adalah anak baik, penurut, rendah hati, dan pintar." Sebelum Yoohyun bisa berkata apa-apa lagi, Yoojin menggelengkan kepalanya. "Tapi, meskipun Yoohyun adalah anak baik, bukan berarti semua orang akan sayang dengan Yoohyun."

"Kenapa, kak?" Yoohyun bertanya, kali ini benar-benar penasaran. "Apa aku kurang baik?"

"Masalahnya bukan di Yoohyun," Yoojin menjawab seraya mengelus rambutnya perlahan. "Sayangnya, tidak peduli sesempurna apapun kita, akan ada orang yang akan selalu mencari masalah kita. Akan ada orang yang akan selalu mencari alasan untuk membenci kita."

"Jadi aku tidak salah apa-apa?"

"Memangnya kamu pernah berbuat apa dengan mereka, Yoohyun?" Kalau dipikir, memang tidak ada. Yoohyun hanya eksis di dunia ini dan mereka akan membuka mulut mereka. Ia mulai mengerti dimana logika kakaknya berasal.

"Tidak ada," Yoohyun mengangguk puas dengan kesimpulannya. Di mata Yoojin, mungkin gesturnya tadi terlihat seperti seorang anak yang senang setelah dihibur.

Yoojin tersenyum lebar padanya. "Nah. Jadi Yoohyun jangan sedih lagi ya?"

Sebelum kakaknya bisa kembali melanjutkan masakannya, Yoohyun kembali bertanya. "Kakak sendiri?"

"Kakak kenapa?"

"Kakak sendiri apa tidak pernah menganggapku aneh?"

Yoojin terlihat lebih kaget dengan pertanyaan yang ini dibandingkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya. Yoohyun jadi menduga apakah hal ini karena ia telah menebak hal yang tepat. Dugaannya ini langsung dipatahkan ketika kakaknya berbicara.

"Yoohyun. Tadi aku bilang kamu adalah anak baik, penurut, rendah hati, dan pintar, 'kan? Apakah kakak terlihat seperti sedang berbohong?"

Dengan cepat, Yoohyun menggeleng tidak. Ia tahu benar cara membedakan orang yang sedang jujur dan yang tidak.

Yoojin tersenyum lagi melihat jawabannya. "'Kan? Yoohyun, kamu itu adalah adik terbaik yang bisa aku minta, kamu tahu?"

Tapi, Yoohyun berpikir lagi. Bagaimana bisa? Kenapa? Begitu? Alasannya? Semua hal itu ingin sekali ia lontarkan di saat yang bersamaan. Ia masih tidak mengerti dan ia ingin tahu jawabannya.

Tiba-tiba saja, Yoojin tertawa kecil.

"Maaf," ia berkata di sela tawanya, "kamu terlihat kebingungan sekali. Imut tahu?"

"Aku imut, kak?"

"Kamu imut." Yoojin menjawab dengan sebuah elusan pada rambutnya lagi. "Ingat, Yoohyun. Apapun yang terjadi, kakak sayang kamu."

Itulah saat dimana mesin di otak Yoohyun menemukan jawabannya.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa sepenuhnya menjelaskan rasa sayang.

Mau sepandai apapun mereka, rasa sayang bukanlah sesuatu yang bisa dideskripsikan dengan kata-kata, bukan sesuatu yang bisa digambarkan, bukan sesuatu yang bisa ditelaah dengan logika. Itulah mengapa Yoohyun tak bisa menemukan jawabannya, bahkan sampai ia dewasa nanti.

Langit itu biru, rumput itu hijau. Yoojin sayang Yoohyun, Yoohyun sayang Yoojin.

Tersenyum puas, Yoohyun mengangguk. "Aku juga sayang kakak!"

Wajah Yoojin spontan menjadi lebih cerah daripada sebelumnya, senyum yang diarahkan kepada adiknya menyilaukan dan menghangatkan. Di saat itu, Yoohyun mulai sadar bahwa ia akan melakukan apapun demi melihat senyum kakaknya.

Lied ; Han Yoojin & Han Yoohyun [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang