Part 16 : Buruk Rupa?

897 58 2
                                    

Assalamualaikum. Jangan lupa sebelum baca, vote dulu yahh. Jangan lupa komen dan follow akun saya😊

✨✨

✨✨

✨✨

✨✨

Happy reading sobat 💕

Pagi telah tiba. Mentari bersinar hangat. Burung-burung pun berkicau menyambut indahnya pagi itu. Seorang wanita berpenampilan sederhana dengan gamis abu-abu tengah duduk di taman rumah sakit. Taman itu dihiasi dengan berbagai macam bunga yang memanjakan mata. Tapi, bukan itu yang membuat Zulaikha betah berlama di sana. Tapi ia tak tahu arah mana ia harus pulang. Gadis itu melamun dengan tatapan kosong yang mengarah ke bawah. Perlahan matanya pun mulai basah. Tak butuh waktu lama, buliran bening pun meluncur berjatuhan. Sakit tapi tak berdarah. Begitu kata pepatah.

"Sekarang, ke mana lagi aku harus pergi? Ya Allah, beri hamba petunjuk," ucap Zulaikha lirih dengan buliran air mata yang semakin deras.

"Kamu harus kuat ya, Nak. Kelak jadilah anak yang bahagia. Biar cukup ibu yang merasakan penderitaan hidup ini. Doakan ibu. Ibu sedang berjuang, Nak. Ibu hanya tidak mau kamu lahir tanpa seorang ayah," ujar Zulaikha pada si jabang bayi, sambil mengelus perutnya.

Tak lama kemudian datanglah seorang ibu paruh baya yang mengenakan span dan atasan biru tua. Di tangannya menenteng sebuah tas hitam yang terlihat mewah. Sangat serasi. Sama seperti penampilannya, ibu itu terlihat awet muda dan cantik. Tubuhnya pun ramping. Padahal umurnya sudah mencapai 45 tahun. Seperti biasanya, rambutnya selalu disanggul di belakang dengan sangat rapi.

"Kamu di sini rupanya. Boleh ibu duduk?" tanya Bu Fitri, Zulaikha pun mengangguk. Dengan cepat ia mengusap sisa-sisa air mata dengan ujung jilbab.

"Ibu tadi nyariin kamu di ruangan. Tahu-tahunya udah di sini. Pagi ini sudah boleh pulang kan, Nak? Boleh ibu antar?"

Zulaikha terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Bibirnya terasa kelu. Luka yang tertoreh belum terobati dan akan terus membekas. Sakit, perih yang gadis itu rasakan di dalam hatinya.


"Nak? Di mana rumah suamimu? Biar ibu antar."

"Saya yatim piatu. Suami saya menikah lagi, Bu. Dan saya adalah istri yang tidak dianggap. Saya tidak punya tempat tinggal. Saya tidak tahu harus ke mana sekarang," jawab Zulaikha terdengar parau. Matanya kembali basah. Bu Fitri mengusap punggung Zulaikha menguatkan.

"Sabarlah, Nak. Begitulah ujian hidup. Memang berat. Allah mengujimu bukan karena Allah benci, tapi karena Allah tahu kamu kuat menjalaninya."

"Sama seperti ibu. Dua puluh tahun pernikahan, ibu tidak dikaruniai anak. Setiap ibu hamil pasti keguguran. Sedih dan merasa menjadi istri yang gagal. Dulu ibu hampir diceraikan karena hal itu. Mertua ibu selalu mendesak suami ibu untuk menikah lagi dan meninggalkanku. Tapi, bersyukurnya Ibu mendapatkan suami yang baik dan setia. Hingga sampai saat ini hubungan kami tetap baik meski tanpa kehadiran seorang anak di antara kami."

Zulaikha ingin menangis mendengar cerita Bu Fitri. Gadis itu bersyukur, karena Allah masih memberinya kepercayaan memiliki seorang anak dan juga suami. Meski saat ini rumah tangganya sedang terombang-ambing oleh badai ujian. Zulaikha tetap yakin akan ada masa yang indah kelak. Ia yakin kalau Ali pasti akan kembali padanya. Kemudian hidup bersama dan bahagia. Itulah mimpi Zulaikha selama ini yang ntah kapan akan menjadi nyata.

"Nak." Bu Fitri melambaikan tangannya di depan wajah Zulaikha yang menatap kosong ke depan.

"Astaghfirullah." Zulaikha beristighfar.

"Bagaimana kalau kamu tinggal di rumah ibu. Ibu punya usaha salon. Nanti kamu bisa bantu-bantu ibu di sana."

Mata Zulaikha berbinar. Refleks ia langsung memeluk Bu Fitri. Ia sangat-sangat bersyukur. Allah selalu memberinya pertolongan. Tak menunggu waktu lama Bu Fitri pun mengajak Zulaikha ke rumahnya. Rumah itu bernuansa putih, besar dan berlantai dua. Arsitekturnya sangat modern. Halamannya pun luas. Zulaikha menatap rumah itu dengan takjub.

Sesampainya di rumah, Bu Fitri meminta Zulaikha beristirahat di kamar tamu. Kemudian, mengirimkan makanan dan juga susu agar kesehatan Zulaikha pulih dan janinnya tetap sehat. Di sana, gadis itu diperlakukan layaknya keluarga maupun anak. Ia diberi tempat tinggal dan diberi pekerjaan. Sungguh, Zulaikha merasa sangat bersyukur telah dipertemukan dengan orang baik. Bu Fitri dan suaminya, mereka sama-sama baik. Tapi sayang, Allah belum memberikan amanah seorang anak pada mereka. Rumah besar yang mereka tinggali itu pun harus sepi tanpa adanya buah hati.

*******

Satu bulan kemudian....

"Apa kamu yakin, Nak?" tanya Bu Fitri sedikit cemas.

"Insya Allah saya yakin, Bu. Saya tidak bisa terus-terusan di sini. Saya harus bekerja keras untuk biaya kelahiran nanti."

Zulaikha sudah yakin dengan keputusannya. Ia sudah memikirkan itu sejak kemarin. Mengontrak sambil bekerja. Menurutnya itu hal yang tepat. Ia harus hidup mandiri. Karena ia merasa sangat tidak enak bila terus-terusan menumpang di rumah Bu Fitri.

"Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu. Ibu bantu kamu buat nyari kontrakan, ya. Kebetulan temen ibu ada yang punya kontrakan deket-deket sini."

"Masya Allah, terima kasih banyak, Bu. Ini rezeki kamu, Nak." Zulaikha tersenyum bahagia seraya mengusap perutnya yang sudah mulai buncit.

"Sama-sama, Nak," jawab Bu Fitri tersenyum ramah seperti biasanya.

Akhirnya berkat bantuan Bu Fitri, Zulaikha bisa menemukan kontrakan yang pas dengan harga yang terjangkau. Sederhana dan yang penting nyaman untuk ditinggali. Rumah kontrakan itu berukuran kecil dan hanya terdiri dari satu kamar saja. Di dalamnya dilengkapi dengan ruang tamu, kamar mandi dan dapur. Walaupun sederhana, tapi kontrakan itu dibangun di lingkungan yang bersih dan ini adalah hari kedua Zulaikha tinggal di sana.

******
Di sebuah ruangan petak kecil tampak seorang gadis tengah sibuk mengaduk bahan untuk membuat adonan. Gadis desa itu pandai membuat aneka macam kue dan jajanan. Dulu kakeknyalah yang mengajarinya memasak. Resep itu sudah turun menurun. Berdagang kue keliling. Itulah yang akan Zulaikha lakukan. Berharap dari sana, ia bisa mendapat rezeki dan bisa mengumpulkan uang untuk biaya lahirannya nanti

"Wajahku." Zulaikha melihat pantulan dirinya di cermin. Memandangi wajahnya dengan cukup lama. Sebagian kulit wajahnya rusak akibat air keras. Sedikit menyeramkan jika diliat. Rasa khawatir dan sedih tiba-tiba menjalar hatinya.

"Apa mas Adnan (Ali) akan mengenali wajahku nanti? Sedangkan separuh wajahku telah hancur. Apa ia akan bisa menerimaku kelak?" Zulaikha mulai bermonolog pada dirinya sendiri dengan perasaan yang bercampur aduk.

"Bismillah. Semoga laris manis," ujar Zulaikha saat melangkahkan kakinya keluar rumah dengan tangan yang menenteng keranjang yang penuh dengan kue. Ia pun mulai berkeliling kampung dengan berjalan kaki. Menawari kue pada siapa saja yang ia lalui. Sudah satu jam Zulaikha berjalan. Dan hari sudah siang. Panas mentari menyengat kepala gadis itu. Peluh mulai membasahi pelipis. Gadis itu ingin beristirahat sejenak. Tapi, kue di kerang yang masih penuh pun mengurungkan niatnya.

"Sabar ya, Nak." Zulaikha mengusap perutnya.

"Kue-kue!" teriak Zulaikha saat melihat ada segerombolan anak kecil yang lewat di sebuah gang.

"Dek, mau kuenya?" tanya gadis itu sambil tersenyum.

"Hi serem. Lari!" teriak anak-anak kecil itu ketakutan. Dan seketika itu membuat air mata Zulaikha menetes.

Next?

JANGAN LUPA VOTE KOMEN, DAN FOLLOWNYA YA, READERS BIAR TIDAK TERTINGGAL CERITA INI😘

ZULAIKHA "Istri yang Tak Dianggap" (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang