TIGA

54.1K 5.9K 172
                                    

                Kembali pada rutinitasnya di rumah sakit. Semalam, Sana memilih meminjam stetoskop Papinya untuk dibawanya bekerja. Sebenarnya di rumah sakit pun disediakan stetoskop, sih. Namun Nasa kurang suka. Dia lebih suka miliknya sendiri atau milik Papinya yang dibeli dengan harga dan merk yang sama. Nasa sudah memesan stetoskop yang baru melalui onlines shop. Walau sudah mendapatkan nomor Kakaknya Adel dari Sana yang dimintanya pada Adel langsung, Nasa sudah tidak memiliki muka hanya untuk sekedar menghubungi dan juga bertanya.

Maaf, Kak. Stetoskop dan bra aku ketinggalan di ruangan kamu nggak, ya?

Haruskah Nasa seperti itu? Tentu tidak mungkin!

Kalaupun Nasa memutuskan untuk hanya bertanya stetoskop dan melupakan bra yang kemungkinan juga terjatuh di ruangan Leo itu juga tidak mungkin. Bagaimana nanti kalau seperti ini :

Nasa, sorry, bra kamu jatuh di ruangan aku.

Lebih gila, bukan? Lebih baik diikhlaskan saja stetoskop dan bra itu. Nasa jelas bisa membelinya yang baru. Uang Papinya masih banyak, kok.

"Weh ... tumben kau jam segini udah datang?" Julian menghampirinya yang tengah ongkang-ongkang kaki duduk di cafeteria.

Julian itu asal sumatera utara. Kuliah kedokteran di salah satu universitas negeri di sana dan memilih wahana internsip di Jakarta sehingga mereka akhirnya bertemu dan berkenalan. Kebetulan juga berada di kelompok yang sama. Kelompok Instalasi Gawat Darurat.

"Sekalin makan siang," jawab Nasa. Gadis itu tengah makan siang sembari meminum secangkir kopi yang masih mengepul di atas meja. Nanti jadwalnya sampai jam 9 malam. Nasa tentu tidak boleh mengantuk.

"Baru liat gue makan siang minumnya kopi." Julian yang ikut duduk memegang gelas kopinya.

Nasa hanya melirik sekilas. Kemudian menyaksikan bagaimana kepala Julian ditempeleng oleh rekan sejawatanya yang lain. Namanya Tristan. Laki-laki itu berada di kelompok berbeda dengan mereka dan bertugas di bangsal bedah.

"Nggak usah ngomong gue-gue. Nggak cocok!" kata Tristan.

Julian mendesis sinis. Balas menempeleng kepala Tristan yang kini bergabung duduk di depan mereka

"Lo bukannya masih jaga? Kok udah ke kantin?" tanya Nasa pada Julian.

"Tenang. Ada kawan cantikku di sana." Julian menyebutkan Liana—rekan sejawat yang jadwal pagi dengannya.

"Emang nggak tau diri. Udah jaga berdua, pake kabur-kaburan." Tristan menatap Julian menyipit.

"Terus lo ngapain di sini?" tanya Nasa balik pada Tristan.

"Makan siang lah." Tristan tersenyum bangga. Mendapatkan tugas di ruangan memang enak. Jam kerjanya pasti dari jam 9 sampai 4 sore. Kalau siang, pasti istirahat dulu. Kalau sudah tidak ada pasien, bisa pulang duluan.

Nasa melahap makan siangnya dengan tenang. Tanpa peduli dengan Tristan dan Julian yang melanjutkan acara ribut mereka. Tristan itu asal Banten dan berkuliah di Malang kemudian internsip di Jakarta. Tristan dan Julian menyewa kost di tempat yang sama walau berbeda kamar. RSUD tempat mereka internsip tidak memfasilitasi tempat tinggal. Hanya ada ruang istirahat yang sering dipakai dokter residen yang tidak pulang-pulang untuk tidur di sana hingga dokter intersip kadang merasa segan untuk bergabung.

Di tengah keributan itu, Julian tidak sengaja menyenggol piring Nasa hingga membuat makanan yang belum habis itu tumpah. Nasa diam sebentar. Kemudian memandang wajah Julian dan Tristan yang sudah menatapnya takut-takut. Nasa terlihat tenang. Tapi kalau sudah marah ...

"Bodat kau!" Suaranya tidak keras. Namun sangat dalam dan penuh penekanan. Dia bahkan sudah mengadopsi umpatan kasar dari bahasanya Julian itu ke dalam kamusnya. "Kau ganti makanan aku sebelum ku patahkan leher mu itu."

As Sweet As Nasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang