Pagi-pagi begini Aku sudah sibuk memindahkan buku. Inilah susahnya jadi murid pintar, lebih sering di suruh guru. Mereka berpikir Aku si pintar tak akan membuat kesalahan, padahal aku kan juga manusia biasa. Seperti saat ini Guru memintaku mengambilkan buku dari perpustakaan. Ada sekitar 50 buku yang ku tumpuk dan ku bawa sekaligus.
Aku malas bolak-balik, apalagi jarak dari perpustakaan ke kelas lumayan jauh.Di koridor, banyak pasang mata yang melihatku. Sayangnya hanya melihat, andai saja ada pangeran tampan yang membantu, pasti aku sangat senang.
*
Ku dengar ada langkah kaki yang mendekat, tepat di depanku ia berhenti, akupun refleks berhenti. Awalnya wajah orang di depanku tak terlihat karena tertutup buku yang ku bawa, maka dari itu aku tak dapat mengenalinya. Tapi setelah orang itu berbicara aku langsung tau siapa dia.
"Biar ku bantu" ucapnya. Dia Sura, laki-laki yang ku kagumi karena sifat rajinnya.Sura mengambil sekitar 40 buku dari tanganku.
"Mau di bawa kemana?" tanya Sura sambil memandangku."Ke kelasku" jawabku. Laki-laki itu tersenyum. Ah, selain sifat rajinnya ternyata aku juga menyukai senyuman itu. Sangat manis.
Sura melangkah menuju kelasku, dan aku mengikutinya dari belakang dengan membawa 10 buku.
Eh, dia mundur beberapa langkah, dan aku refleks bergeser ke samping.
Sekarang kami berjalan bersampingan, dengan tangan yang sama-sama sibuk membawa tumpukan buku.
"Kenapa tidak meminta laki-laki saja yang bawa?" tanya Sura, aku menoleh ke arahnya."Mereka tak sebaik dirimu. Aku sudah minta tolong, tapi tak ada yang mau membantu." jawabku sambil terus melangkah, dan sesekali menoleh ke arah Sura.
Sura kembali tersenyum. Aku sempat terpana pesona senyumnya. Oh Tuhan, bagaimana engkau menciptakan makhluk hidup setampan Sura?
*
Brak!
Akhirnya aku sampai dengan selamat membawa 50 buku sendirian. Aku melangkah menuju bangku-ku, paling depan dan aku duduk sendirian.Ku lihat barisan kanan, di mana para siswa laki-laki duduk tanpa aturan. Lihatlah, ada yang duduk di meja, ada yang tiduran di meja, entah hilang kemana sopan-santunnya.
Sekarang mataku berpindah ke barisan kiri, di mana para sisiwi perempuan duduk membentuk lingkaran besar dengan meja di tengahnya. Mereka ngegibah?
Rasanya tanganku pegal-pegal. Andai ada seseorang yang mau membantuku tadi. Siapapun.
Ya, benar. Sura tadi hanya imajinasiku saja. Di tempatku tak ada laki-laki seperti Sura. Baik, tampan, rajin, dan selalu tersenyum padaku. Seperti pangeran-pangeran di novel. Sura itu adalah Pangeran Halu-ku.
Andai saja aku punya teman laki-laki seperti Sura. Andai saja kata 'andai' ini jadi nyata. Sungguh. Aku akan sangat senang.
Kirimkan Sura padaku Tuhan :)
Wkwkwkw, kira kira judul apa yang cocok buat chapter ini?
Tulis di komentar ya!
Jangan lupa tinggalkan jejak.Sekian cerita ini ku tutup, kalau ada kesalahan mohon di maafkan, kalau ada perasaan tolong di ungkapkan.
Awokawokawok, uhuy!