Prolog

13 4 14
                                    

⚠️Awas, typo bertebaran ⚠️

***

Ada kasta dan tingkatan yang sudah diciptakan dari nenek moyang. Kasta dan tingkatan yang sekarang ini sangat lekat oleh masyarakat. Banyak orang yang sadar, banyak kerugian yang timbul akibat perbedaan kasta yang selalu diagung-agungkan itu. Bukan hanya tentang orang kaya yang akan semakin kaya, dan bukan tentang orang miskin yang perlahan akan lenyap.

Namun, ini ditentukan oleh nama belakang dan dianggap sebagai jati diri tiap individu. Nasib dan takdir seseorang seperti sudah ditentukan oleh nama belakang. Banyak orang merasa tidak perlakukan adil, tetapi tetap menerima takdirnya sendiri. Dan ada juga yang sudah berusaha memperjuangkan hak-nya namun, tidak pernah didengarkan. Hal ini juga yang dirasakan oleh Nawang Indraswari. Dengan nama belakang yang jika diurutkan berada di kalangan paling bawah.

Kala itu ....

"Permisi, Bu, saya Nawang Indraswari. Apakah sore nanti saya boleh memesan kursi perpustkaannya? Karena ada tugas yang ingin saya kerjakan," ujar perempuan bernama Nawang itu dengan hati-hati.

Penjaga perpustakaan kota itu melirik Nawang dari atas sampai bawah. Merasa diintimidasi, Nawang menghela napas berat.

"Kamu Indraswari?" tanya penjaga perpustakaan itu yang dia ketahui dari name tag-nya bernama Lia Bimantara. Jika diurutkan menurut kasta, keluarga Bimantara masuk 10 besar sebagai keluarga paling berpengaruh.

Toh, Nawang tidak tahu akan berakhir seperti ini lagi.

Bu Lia beralih menatap layar monitor di depannya, "sudah kali ke-5?"

Yang dimaksud bu Lia adalah kedatangannya ke perpustakaan ini. Nawang mengira karena penjaga perpustakaan sudah digantikan, dia berharap bisa mendapat izin untuk akses perpustakaan. Ternyata keluarga Bimantara sama saja!

Setelah tiga menit berlalu, Nawang keluar dari kantor perpustakaan dengan ekspresi kesal. Langkah beratnya menuntunnya keluar sejauh 10 kaki dari luar gedung. Sebelum benar-benar menjauh dari gedung, Nawang memutar arah tubuhnya 180 derajat.

Nawang mengangkat dan membaca kembali lembar secarik kertas yang bertuliskan peringatan dan sanksi yang akan dia terima jika kembali ke perpustakaan kota. Dan tanpa aba-aba dia merobek secara bengis secarik kertas tersebut hingga tidak berbentuk lagi. Sebagai sentuhan terakhir, dia menginjak-injak potongan-potongan kertas dan tak berhenti mengumpat.

Setelah puas menyatukan kepingan kertas tersebut dengan tanah, Nawang akhirnya merasa lega.

Dia kembali mengangkat kepalanya menatap gedung 3 lantai itu dengan tatapan marah. "Peraturan bodoh apa yang membatasi kalangan bawah untuk menikmati fasilitas negaranya? Memangnya kalian digaji untuk membeda-bedakan kalangan, ha?! Sialan!" umpatnya. Dia tidak memedulikan tatapan orang-orang yang berlalu lalang di depannya kemudian berlalu pergi.

"Jika nama belakang kalian tidak mendukung, setidaknya keluarga kalian punya usaha yang mampu mendorong perekonomian dan bersaing dengan industri lainnya."

"Jika tidak ingin mati dengan sia-sia ... kalian dari keluarga terbelakang harus menerima tak-"

Prakkk!

Pak Saleh menghentikan kalimatnya dan kini semua mata anak-anak kelas memandang ke arah Nawang. Yang ditelanjangi oleh tatapan hanya cengegesan tanpa dosa.

"Maaf, Pak, tadi ada lalat di atas meja, hehehe." Nawang kembali menyusun tiga buku tebal yang telah menjadi senjatanya untuk mengehentikan omong kosong pak Saleh.

"Saya tahu kamu sengaja, Nawang Indraswari!" pak Saleh menekankan pada kata 'Indraswari'.

Seisi kelas kembali hening dan beberapa di antaranya memutuskan untuk menundukkan kepalanya karena mendengar nada tinggi dari pak Saleh.

LOVE HURTS (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang