Dua

64 80 50
                                    

Aku berlari menuju halte dengan nafas tak beraturan, merutuki cuaca pagi yang mendukung untuk kembali tidur setelah mematikan alarm.

Mendung dengan suara gemuruh, seharusnya saat ini aku bergulung di dalam selimut dan menonton film dengan segelas susu hangat.

Tapi, mari lihat realitanya saat ini.

Aku melihat pantulan diriku pada kaca bus, rambut kepang dua dengan pita merah, topi kertas berbentuk kerucut dan beberapa peralatan lainnya. Terlihat berantakan.

Beberapa menit setelahnya aku kembali berlari, oh? Bukankah seharusnya jarak kos dan kampusku tidak begitu jauh?!

Tepat sebelum kegiatan di mulai aku sampai, nyaris saja.

Acara sambutan yang cukup membosankan, ntah akan memakan waktu berapa lama.

Aku mengedarkan pandangan, semuanya terlihat tenang dan mendengarkan dengan seksama, kecuali barisan belakang yang jelas sekali sedang meributkan sesuatu.

Panitia dengan segerombolan anak band? Mungkin? Beberapa dari mereka membawa peralatan alat musik.

Yah, aku tidak peduli, sampai mataku terfokus pada salah satu orang dari mereka.

Laki-laki berperawakan tinggi yang menggendong gitar, sedang mengacungkan permen milkita berwarna hijau pada orang di depannya.

Aku tau dia sedang emosi, tapi rasanya malah jadi ingin tertawa.

Mungkin karena merasa di perhatikan, ia menolehkan wajah, mata kami pun bertabrakan.

Tunggu? Saka?

Aku menyipitkan mata, Saka juga termenung. Seperkian detik setelahnya ia melambaikan tangan riang dan ku balas dengan senyum kecil.

Dia tidak bilang sebelumnya bahwa kami akan sekampus, parahnya lagi ternyata Saka adalah kakak tingkat ku.

Lalu, apa permen yang sedang di makannya itu pemberian ku lusa lalu? Aku memasukkan paksa beberapa permen ke dalam kantongnya karena dia terus merokok.

Aku kembali mengarahkan kepalaku kedepan kemudian menutup wajah dengan kedua tangan, merasa malu dengan tindakan bodoh yang sudah ku lakukan saat pertama kali bertemu dengannya.

Kalau di ingat-ingat, aku sering sekali melakukan hal tidak sopan. Reflek memukul lengannya saat tertawa, mengucapkan kalimat kasar karena merasa kesal dengan Jingga, bahkan saat makan untuk kedua kalinya aku langsung meletakkan makanan yang tidak ku suka ke piringnya. Bukan di sengaja, itu kebiasaan tiap makan bersama pacarku sebelumnya. Jadi, ya.. Aku lupa yang sedang bersamaku waktu itu Saka, bukan Jingga.

Tapi

Semesta, boleh tidak aku menyalahkanmu karena membuat skenario seperti ini dalam hidupku? Sekali saja, aku ingin melupakan hal tersebut. Sungguh, aku merasa sangat malu. Jadi jangan hukum aku.

Andai di atas kepala Saka tertulis "kating", pasti aku tidak akan memperlakukan dia seperti itu.

Aku menepuk pelan pipiku. Oke, berhenti memikirkan hal yang tidak perlu dan fokus pada apa yang di depan.

Sudah 5 jam lebih aku mencatat berbagai materi, acara pun selesai dengan perkenalan sebagai penutup.

Saat ini pikiranku hanya terisi dengan kasur empuk yang akan langsung memelukku saat aku menjatuhkan badan.

Aku melangkah keluar dari ruangan kemudian menatap langit.
Sepertinya akan menunggu lama sampai hujan berhenti, terlihat dari awan yang masih memperlihatkan warna gelap.

Aku memeluk erat tas ku kemudian berlari menerobos derasnya hujan menuju halte.

Sepi, hanya ada satu orang yang sedang berdiri menunggu bus.

EUNOIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang