"Jangan terlalu memikirkan hal yang belum tentu terjadi, bisa jadi hal tersebut bukan pertanda baik melainkan awal mula hancurnya keseimbangan hidupmu."
~Pagi ini,
pagi yang sama dengan pagi-pagi sebelumnya.
Aku hanya perlu membuka mata, memastikan bahwa mentari hari ini terbit dari timur, kemudian melakukan apa yang harus aku lakukan sebagai seorang manusia. Ya, tidak ada sesuatu yang special...
Pernah sekali, aku membayangkan bagaimana jika ketika aku bangun di pagi hari, tapi yang kulihat hanya bintang-bintang dan bulan tapi langit sudah seperti langit pagi. Tentu pada saat itu aku akan berpikir bahwa dunia sudah kiamat.Bagiku, babak hidup tersulit adalah ketika pagi yang kutemui adalah pagi yang sama yang harus aku jalani. Rutinitas pagi yang menjadi bagian dari hidupku bertahun-tahun lamanya dan membentuk pikiranku bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan tentang pagi ini. Ya semua akan berjalan sebagaimana yang telah kulalui sebelumnya. Kalaupun terjadi sesuatu atau muncul masalah, aku cukup meyakinkan diriku bahwa aku akan bertemu pagi yang sama esok hari.
Ya, kalimat ini, "Semua akan baik-baik saja" adalah kalimat terindah dalam setiap pagiku, meski kini terdengar seperti biasa saja dipikiranku. Ahhh pikiranku terlalu berkelit.
Sudah cukup pergulatan pikiranku mengenai pagi.
Intinya, aku hanya ingin menyampaikan bahwa sepertinya tidak ada yang kurang dari hidupku. Semua masih menjadi rutinitas zona nyamanku. Hanya saja, entah mengapa pagi ini suatu pertanyaan begitu menggangguku, "Apakah sungguh tidak ada kekosongan dalam hidupku?"
Pertanyaan ini baru saja muncul dan ya, cukup mengusik pagiku.Mungkin aku hanya perlu mengambil segelas kopi dan melihat keluar jendela sejenak untuk menyegarkan kembali pikiranku. Pastinya tidak akan membuatku terlambat untuk pergi ke kantor jika diam sejenak dan menikmati pagi, ini masih terlalu pagi. Lagipula, berdiskusi dengan pikiranku adalah cara terbaik untuk melatih otakku agar nanti dapat bekerja lebih semangat lagi.
Aku Anaya Yoselin, wanita usia 30 tahun yang masih terjebak dengan nostalgia masa remajanya yang menyenangkan. Sedang bekerja mengumpulkan uang untuk masa depan, menuruti kewajiban hidup lebih tepatnya. Terpenuhi dalam kebutuhan afeksi yang diperoleh dari keluarga, pacar, dan lingkungan pertemanan. Hidup di lingkungan yang mengagungkan norma, tata krama, serta nilai-nilai agama yang tinggi. Sering dicap "Si Santai" karena menurut mereka, masalah dan kesulitan tidak suka berada di jalur hidupku. Tidak ada yang kurang kan dari hidupku.... Ya meski aku bukan salah satu dari daftar orang-orang terkaya di negeri ini, tapi jika ada komunitas Hidup Cukup dan Tenang, aku salah satu anggotanya.
~
"Ti, ngerasa ga sih kalau hidup kita flat banget?" ucapku memecah keheningan pagi di ruangan kantor yang suasananya seperti sedang ujian akhir nasional.
"Ta, Ti, Ta, Ti..." balasnya dengan nada suara meninggi namun tak melihatku, pastinya karyawan lainlah yang justru menoleh kearahnya.
"Ya kan nama lo, Nur Risanawati. Masa Gue panggil Tamara."
"Kan bisa panggil Ris atau Isana biar keren dikit.." ujarnya sambil melihat wajahnya sendiri di kaca kecil di atas meja kerjanya.
"Serah lo, WATIIII.."
"Napa lagi lo, udah enak juga hidup lo. Masih aja dipusingin.." akhirnya dia menolehkan wajahnya sambil memperbaiki posisi duduknya mengarah kepadaku.
"Ya bukan gitu, tapi kenapa ya.. kok Gue ngerasa kayak.. ya semua baik-baik aja gitu. Ga ada yang greget gimana gitu.."
"Ini nih akibat hidup kurang bersyukur.. dikasih permen manis, malah nyari yang rasanya nano-nano.." ujarnya sambil mengerutkan alis.
"Bangun pagi... kerja... ngumpul sama teman atau telponan sama pacar... terus tidur lagi.. gitu aja terus.. kalaupun pusing, palingan masalah kerjaan. Itupun pasti ada aja penyelesaiannya. Jelas gitu arahnya, jadi ga bikin up and down-nya berasa jleeeb banget.." kali ini giliranku yang melemparkan pandanganku ke salah satu sudut kantor, lebih tepatnya ke dinding yang terdapat banyak sekali Word Wall Art Decor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anaya Mencari Tanaka
Romance"Aku tau jalan kita ke depan buntu. Aku tau kalau kamu dan aku tidak akan pernah bertemu jalan tengah. Aku yang awalnya penuh ekspektasi dengan hubungan kita, sampai akhirnya cuma bisa mencintai kamu tanpa berharap kita bakal nikah. Tapi aku paham...