"Kalau hubungan lo sama kakak gue gimana?" Karina menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya. Dia menatap Jeno dengan pandangan bertanya. "Mark. Kakak gue."
"Oh Kak Mark. Dia kan ketua osis. Gue sekretarisnya."
"Gue lihat hubungan lo sama dia nggak kayak gitu."
"Emang kayak gimana?" tanya Karina lebih lanjut. Dia sengaja ingin memancing sesuatu untuk mengetahui maksud pertanyaannya.
"Ya lebih dari itu."
"Lo ngamatin gue nih?" tanya Karina sambil menaik turunkan alisanya.
"Ngamatin kakak gue." Jeno sengaja menekan kata "kakak" dan menunjuk dirinya sendiri.
"Gue emang banyak urusan sama kakak elo."
"Emang semua cewe sama aja," lirih Jeno sambil menatap jam dipergelangan tangannya. Harusnya mereka sudah hampir masuk ke tengah hutan, tapi gara-gara Karina semuanya sedikit terlambat.
"Semua cewek sama gimana? Kalau masalah suka karena tampang. Ya gue juga suka juga sih. Cuman ya nggak dari tampang doang. Banyak faktornya."
"Lo suka kakak gue karena tampan?" Karina berhenti ketika mendengar pertanyaan tidak bermutu itu. Sejak kapan dia menyukai Mark? Ini menyebalkan untuknya. Apalagi Jeno tetap berjalan.
Karina lalu menarik lengan Jeno. Jeno terhenti dan menunduk ke arah mata Karina, tepat di iris mata berwarna hitam itu. Jeno terlihat tidak berminat sama sekali untuk melakukan tatap-tatapan yang membuang perjalanan mereka. Apalagi rombongan yang dipimpinnya sudah tidak terlihat.
"Kenapa lo berpikir gue suka sama kakak lo sih? Dari dulu yang gue incer tuh elo. Bukan Kak Mark. Hellow." Karina mengibaskan rambutnya dengan kuat. Rasanya dia ingin mengeluarkan otak Jeno dan mencucinya dengan air bersih agar berpikir dengan jernih.
"Terus kenapa ada rumor kalau kalian berdua pacaran?"
"Namanya orang kan suka gitu. Lo salah besar kalau mikir gue kek gitu. Gue nggak kayak gitu. Lo pikir gampang buat deket sama kakak lo juga? Gue butuh effort tapi sama sekali dia nggak mau bantuin gue buat deketan sama lo." Karina menjelaskannya dengan bersungut-sungut. Terlihat lucu di mata Jeno. Tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis. Tipis sekali sampai Karina pun tidak akan sadar.
Karina mengarahkan telunjuknya kea rah Jeno. "Jadi lo jangan mikir gitu. Gini-gini gue setia sama lo. Tapi gue jadi mikir. Lo pakai pelet ya?" Karina berjinjit untuk menyamaratakan tingginya tapi sayangnya masih kurang.
Jeno lalu mendorong dahi Karina dengan jari telunjuknya. "Otak itu dipakai mikir yang bener. Lo kira gue cowok apaan."
"Iya bener sih enggak. Soalnya lo ganteng, pinter, baik—tapi dulu sih—sekarang kek tukang bully." Karina melirik Jeno dengan tajam. Mengenai bully, dia masih ingat surat cinta itu terpampang di dinding majalah. "Tapi kalau lo sesempurna itu pasti orang-orang juga bosen sih lama-lama. Tapi gue sih enggak. Lo pokoknya paling the best." Karina mengangkat kedua jempolnya ke arah Jeno.
Jeno cukup terkejut dengan kalimatnya Karina. Tidak biasanya orang akan mengatakan segamblang itu. ini manusia di depannya memang ajaib. Karina berjalan di depannya masih menggerutu mengenai surat cinta itu.
"Jangan-jangan lo nggak suka cewek ya?"
Untuk pertanyaan yang absurt itu Jeno berhenti. Dia menghembuskan angin ke udara. Berbicara dnegan Karin seperti berbicara dengan kakaknya. Debat semua.
"Gue suka sama siapapun kan nggak penting." Jeno berjalan terlebih dahulu. Dia lalu berhenti yang kemudian membuat dahi Karina terbentur oleh punggungnya. "Lo beda sama cewek lain." Setelah mengatakan itu Jeno kembali melangkah sedangkan Karina dibuat melongo dengan kalimatnya.
"Manusia gila emang. Damagenya gak ngotak." Jeno menyentuh dadanya yang terasa kena sengatan listrik sampai jantungnya berpacu lebih cepat. Terkadang Jeno memang menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Breaking My Life After The Spring Comes
Фанфик[Complete] Musim semi bisa dikatakan sebagai musim untuk jatuh cinta. Karina memanfaatkan musim itu untuk memberikan surat cintanya pada Jeno. Tidak seperti dugaannya, Karina ditolak tapi yang lebih menyebalkannya lagi surat cintanya dibaca keras-ke...