BAB 5

2 1 0
                                    

   Pagi yang cerah di Bandung. Disini aku sekarang. Aku menatap kamarku yang berantakan, semalam setibanya di rumah baruku ini, aku langsung terlelap tidur.

Dertt! Derttt!

"Halo? Assalamualaikum."
"Halo Nafa? Wa'alaikumsalam." Suara cowo yang tak asing bagiku.
"Maaf dengan siapa disana?"
"Ayas. Kamu gak ada di rumah ya? Keliatan nya sepi banget."
"Hmm iya, aku sekeluarga lagi liburan," ucapku bohong.
"Yaudah, have fun ya. Padahal aku mau ajak kamu jalan-jalan hari ini bareng Kiki juga. Jangan lupa oleh-oleh nya Fa. See you."

  Aku mematikan sambungan teleponnya. Jahat sekali diriku. Aku pergi meninggalkan kota ku tapi tak ada satupun temanku yang tau. Maaf Ayas, Kiki, Hana, aku meninggalkan kalian tanpa berpamit.

  Kak Angga memasuki kamarku saat aku merapikan baju-baju ku. "Selamat pagi adikku sayang!!! Besok kita survey ke ITB. Btw, kamu ambil jurusan apa Fa?"

"Jurusan sastra kak. Survey nya lain kali aja deh, aku masih capek perjalanan kemarin," keluhku kesal.

"Yaelah, tiduran doang di mobil kok capek? Lagian nih ya lusa kakak berangkat ke Jakarta ada urusan di kampus. Kalo bukan kakak yang anter kamu survey, mau sama siapa? Kan gaada Ayas atau Kiki juga disini."

"Oke. Oke. Aku kalah," keluhku lagi.

  Ibu memanggilku dari lantai bawah untuk sarapan. Hari ini ibu dan ayah belum mulai bekerja jadi masih bisa bersantai-santai di rumah baru ini.

"Nafa, katanya kamu mau ke ITB kan dianter kak Angga?" Ibu mengawali obrolannya saat kita sarapan.

"Iya bu, sekalian jalan-jalan keliling kota boleh kan bu?" pintaku pada ibu.

"Boleh banget sayang."

" Terimakasih ibu..."

  Tiga puluh menit berlalu. 'Lumayan juga ternyata perjalanan dari rumah ke kampus' batinku.

  Sesampainya di kampus. Kak Angga memperkenalkan ku pada salah satu temannya yang masih menjalankan semester akhir. "Kenalin nih adek kesayangan gue bro, yang pernah gue ceritain mau kuliah disini," sapa kak Angga pada temannya yang bernama Farel.

"Oh iya salam kenal, Nafa kan?"

"Iya kak salam kenal juga," jawabku.

"Btw mau ambil jurusan apa?"

"Sastra kak."

"Eh sama dong."

"Oh iya kak?"

"Iya. Yaudah sekarang kita keliling kampus, barangkali ada yang mau ditanyakan," ucapnya.

  Sudah sekitar dua jam aku dan kak Angga disini. Kita pamit pulang sama kak Farel dan teman-teman kak Angga yang lain.

"Nafa, kita mau mau kemana nih?" Kak Angga memulai pembicaraannya saat di mobil.

"Balaikota Bandung aja kak," jawabku bersemangat.

"Kakak mah ngikut kamu aja dek."

   Di balaikota kami hanya ngobrol, bercanda, atau sekedar jalan kaki keliling sini saja. Sudah lama sekali sejak kak Angga kuliah di Jakarta kami tidak pernah ngobrol receh seperti ini. Kalo udah pulang ke rumah paling juga ngobrol penting-penting. Aku bisa saja kehilangan Ayas dan Kiki, tapi aku tidak mau kehilangan kak Angga.

"Cie udah gak murung lagi nih adek kesayanganku," ledeknya sambil mencubit pipiku.

"Kak Angga ih, sakit tau."

"Masih sedih ya ninggalin Ayas sama Kiki?"

   Aku hanya diam. Aku malu mengakuinya di depan kak Angga. Tapi memang benar aku belum terbiasa tanpa Ayas dan Kiki. Mereka selalu membuatku senang disaat aku terpuruk, bahkan mereka selalu ada disaat kesehatanku pernah dalam masa sulit.

   Dulu awal aku kelas 12 tiba-tiba sering sesak nafas, batuk, kadang juga sampai badan panas, saat diperiksa ternyata aku punya penyakit asma, harus sering banyak istirahat. Dan hampir satu bulan aku izin tidak berangkat sekolah untuk pemulihan. Setiap sepulang sekolah Ayas dan Kiki selalu menyempatkan waktunya untuk mampir ke rumahku, kadang juga sama Hana. Ayas dan Kiki tidak pernah tau apa penyakit yang dideritaku, mereka tidak pernah bertanya mengenai itu, aku juga takut jika mereka tau akan semakin khawatir. Aku tidak mau membebani mereka.

"Hei kok melamun?" Kak Angga menyenggol tanganku.

"Aku salah sama teman-teman ku. Aku pindah ke Bandung tapi mereka gak ada yang tau, mereka hanya tau aku akan kuliah luar kota, mereka juga tidak tau kuliah ku di Bandung," jelasku menunggu respon kak Angga.

"Kenapa kamu gak beritahu saja?"

"Mereka gak tanya kak, lagian aku pengin mereka tetap baik-baik saja tanpa aku. Gak mungkin kita bersama terus kan kak? Aku juga pengin menjalankan hidupku sendiri."

"Tapi kalo kamu merasa mereka penting bagimu beritahu saja, kalo mereka nyariin kamu disana gimana? Nanti ngiranya mereka bukan sahabat yang baik karna kamu gak beritahu hal sebesar ini."

  Aku hanya diam. Benar kata kak Angga. Padahal mereka sahabat yang baik banget untukku.

"Ya itu terserah kamu Nafa. Udah ah gak usah terlalu dipikirin, ntar botak pala nya, kaya dulu waktu kecil pas masih SD. HAHAHA!!!"

Lalu kak Angga lari sekencang mungkin, aku mengejarnya. Kami tertawa bersama.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SALAHKAH AKU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang