***
Gelak tawa dari arah panti asuhan terdengar membahagiakan. Mereka bermain diatas rerumputan dengan senang di lubuk hati, tiada yang mengenal rasa sedih saat mereka masih kecil.
Zay tertawa girang, ia suka bermain dengan tanah. Membuat bentuk-bentuk unik yang pada dasarnya tak bisa dijelaskan dari perspektif orang dewasa. Ia bermain dengan nya, disamping, seolah mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
Mereka mengobrol bersama, mendiskusikan hal penting seperti orang dewasa yang mereka amati dua hari lalu, berbincang dihalaman rumah. Setelahnya, mereka bermain kejar-kejaran dengan tawa riang yang menenangkan—menyedihkan.
"Anak-anak! Ayo makan siang!" Ucap sang Ibu panti asuhan yang selalu menjaga mereka. Keduanya berlari, siapa yang lebih dulu sampai. Setelah sampai, seperti anak baik membantu Ibu panti asuhan. Membagi anak anak lain dengan apik. Tubuh Zay begitu pendek, hingga diri nya tertawa dan membantu Zay untuk mencapai tinggi meja.
"Kamu pendek." Mendengarnya, Zay hanya mendengus. Mengadu kepada kakak paling tertua di panti asuhan. "... Jangan mengejek begitu, ya." ucap gadis itu dengan lembut. Zay tersenyum senang.
"Iya, maaf. Ayo, sekarang kita duduk. Atau kita gak bakalan dapat makan siang!" Ucapnya, menggandeng tangan Zay dengan erat, menduduki kursi dan siap menyantap makan siang mereka.
Siang berganti malam. Panti asuhan lumayan sepi kali ini. Namun Zay, dan dia masih berbincang dengan berbisik dibalik selimut, nyatanya sedang membaca sebuah dongeng. Terkadang tertawa, bahkan ikut merasa sedih.
"Ini menyedihkan! Aku tak mau membacanya!"
"Zay, ayo baca. Disetiap kesedihan, pasti selalu ada kebahagiaan." Zay hanya termenung sedih, menyeka air matanya yang sempat menitik melihat anak gajah yang mencari ibunya. Hampir serupa dengan kehidupannya.
Keduanya berlanjut, namun tiba tiba "Anak-anak! Bangun! Keluar sekarang!" Ibu panti asuhan memanggil mereka untuk keluar. Sebagian anak-anak berteriak, dia meminta Zay untuk menunggu sebentar untuk mengintip, "Ada kakak, dia... membantu evakuasi, Zay."
"... Evakuasi itu apa?"
Tanpa menjawab, dia menarik lengan Zay dengan cukup keras kali ini. Pergi menuju depan halaman dengan instruksi kakak tertua di panti asuhan.
Dikala semua sudah keluar. Mereka sekedar bisa melihat rumah mereka terbakar habis oleh api yang menjalar. Bola mata Zay memantulkan cahayanya, karena malam yang gelap, dan api sebagai cahaya. Matanya berkaca-kaca, dan lalu menitikkan air mata. Namun dia sadar, dan mengelapnya dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
More Closer. [SungJake]
Fiksi Penggemar[ On Going ] Some people can't be answers, they're just more questions *** Rupanya, bunga Edelweiss merupakan abadi dengan cara tersendiri nya. Siapapun yang mengetahui nya akan terpukau, tapi apa daya bila pada akhirnya tiada?