Rizal POV
"Apa kesan Papah setelah kita melewati malam pertama sejak kita resmi jadi suami istri?" tanya Intan. Kami baru saja selesai melakukan olahraga malam, karena Intan masih sakit, kami melakukannya hanya sebentar saja, aku takut istriku kembali drop. Namun dugaanku salah, Intan terlihat begitu bahagia. Kami belum tidur padahal sudah tengah malam, ibu kandung Ravin itu bilang, dia ingin mengobrol banyak malam ini.
Benar kata orang, biasanya pasangan suami istri setelah mereka bertengkar, keduanya akan berakhir di atas ranjang. Saling bertukar peluh, berguling, menggeram dan memuaskan satu sama lain. Setelah sesi bertengkar selesai, saatnya memasuki sesi bercinta yang menggairahkan. Dan itu sering aku dan Intan lakukan, namun malam ini berbeda, malam ini sangat spesial, lebih indah dari malam pertama.
"Apa Papah sadar, kalau waktu itu aku sudah tidak perawaan?"
Aku mengecup pucuk kepalanya yang ia sandarkan di dada bidangku. Aku dan Intan hanya memakai selimut untuk menutupi tubuh polos kami berdua.
"Iya. Papah tahu. Awalnya Papah kecewa, tapi Papah sadar, Papa juga seorang duda beranak tiga. Jadi, waktu itu Papah tidak mempermasalahkan status Mamah."
Ya, aku memang menyadarinya, Intan sudah tidak perawaan saat pertama kali aku meminta hak-ku setelah kami menikah. Aku sempat kecewa, namun aku pikir itu semua tidaklah penting. Aku menerima Intan apa adanya, seperti dia menerima keadaan ku.
"Yang Papah ingat, malam itu Mamah terlihat tegang."
"Bagaimana tidak tegang, setiap kali liat Papah, Mamah selalu teringat malam dimana Ravin hadir di perut Mamah."
"Maaf. Papah benar-benar tidak ingat dengan apa yang sudah Papah lakukan malam itu."
"Apa Papah pikir, Mamah telah tidur dengan laki-laki lain sebelum kita menikah?"
Aku mengangguk, karena memang aku berpikir seperti itu.
"Jahat. Padahal kamu yang sudah mengambilnya dengan paksa." Intan memukul dadaku cukup keras.
"Pukul aja, Mah. Papah ikhlas, kok."
Plak
Dia kembali memukul dadaku, kali ini lebih keras dari pukulan sebelumnya.
"Sakit, Pah?"
"Enggak. Itu tidak sebanding dengan sakit yang pernah Papah berikan pada Mamah."
Ku lihat kedua sudut matanya berkaca-kaca, lalu mencium dadaku dimana tadi dia memukulnya.
"Mamah sayang sama Papa. Mamah sudah memaafkan Papah sejak kita menikah."
Oh, Intan. Terbuat dari apakah hatimu ini? Kenapa kamu begitu mudah memaafkan laki-laki brengsek seperti suamimu ini.
"Terimakasih, Sayang. Kamu benar-benar berhati mulia. Aku sangat beruntung memilikimu."
Kini posisi kami berdua sudah berubah. Aku dan istriku berbaring sambil berhadapan, tubuh kami berdempetan tanpa penghalang apapun, dapat kurasakan suhu tubuh Intan menyentuh kulitku. Meski begitu tidak ada nafsu, kami saling merangkul mengungkapkan rasa cinta di antara kami berdua."Terimakasih, Tuhan. Engkau telah mengirimkan satu bidadari-Mu untuk manusia penuh dosa seperti hamba."
"Oh, ya. Sejak kapan Papah mulai mencintai Mamah. Dan apa Papah masih mencintai mbak Irma?"
Barusan ku lihat istri keduaku itu sudah tertidur, tapi kini dia membuka matanya kembali dan memberiku pertanyaan lagi.
"Entahlah. Awalnya Papah memang menikahi Mamah demi Andra dan Ana. Tapi rasa cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Tepatnya kapan Papah jatuh cinta sama Mamah, Papah sendiri tidak tau. Semua mengalir begitu saja."
Aku menjeda kalimatku, ku hela nafas sebelum menjawab pertanyaan Intan yang lain.
"Papah memang masih mencintai Irma, dan Papah tidak bisa melupakannya." Ku tatap wajah Intan menunggu reaksi dari wanita itu. "Tapi kita sudah berbeda alam, kini Papah hanya mencintai Mamah seorang. Papah tidak bisa membandingkan Mamah dan Irma. Kalian mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing."
"Iya, Mamah ngerti. Terimakasih sudah mencintai Mamah dan mbak Irma."
"Kalian berdua memang dikirimkan untuk Rizah Hamzah seorang."
"Papah menang banyak." Intan mencubit perutku. Perut yang sudah berisi lemak.
"Iya, dong. Haaaaaa."
Tak lama kemudian Intan kembali terlelap, aku masih belum bisa tidur. Meski Intan sudah memaafkanku, tapi masih ada yang mengganjal pikiranku. Aku masih punya banyak dosa pada putra bungsunya, Ravin. Aku belum meminta maaf padanya. Jujur aku takut dia membenciku sekarang, karena aku sudah banyak membuatnya terluka selama dua puluh tahun ini.
Aku masuk ke kamar Ravin, memastikan kalau putraku itu ada di kamarnya karena tadi aku mengusir Ravin dari rumah ini.
"Maaafkan Papah, Nak. Papah sayang banget sama kamu." Aku mengusap wajahnya yang penuh memar akibat perbuatanku tadi yang memukulnya sekuat tenaga.
"Selamat malam, semoga mimpi indah." Aku mengecup kening Ravin sebelum kembali ke kamarku. Ku tatap wajahnya sekali lagi, ternyata bibir dan mata Ravin turun dari Intan, bukan dari Irma seperti yang aku pikir selama ini.
Bersambung,
Selasa, 31 Mei 2022
THB
KAMU SEDANG MEMBACA
INTAN (Cerita Pendek - End)
Truyện NgắnPrekuel cerita My Brondong Driver Kisah kedua orang tua Ravin Cerita Pendek ( End) Bagaimana perasaanmu saat mahkota yang kamu jaga selama ini direnggut paksa oleh laki-laki yang tak lain adalah kakak iparmu sendiri? Ya, itu yang ku alami, pria y...