"Tanpa sadar, angin membawa kita bertemu pada suatu titik tanpa rencana."
***
Tubuhnya benar-benar kedinginan. Tangannya mengepak-ngepak seperti burung, namun begitu cepat dan panik karena tidak memiliki pegangan. Zura merasakan gravitasi benar-benar menariknya ke dasar laut, menenggelamkan kepalanya ke dalam air yang gelap.
Hitam.
Gadis itu tidak bisa melihat apa-apa. Sekuat tenaga berusaha kembali ke permukaan, namun usahanya sia-sia. Tekanan airnya terlalu kuat untuk tubuhnya yang lemah. Kedinginan, Airnya sangat dingin, Zura bahkan bisa merasakan dirinya bergetar dalam air.
Tolong, jeritnya dalam hati.
Zura benar-benar kewalahan, tubuhnya benar-benar sudah penuh dengan air, pandangannya tidak berarti apapun selain hitam yang menakutkan. Satu-satunya yang masih berfungsi hanya pendengarannya. Namun yang ia dengar hanyalah suara air yang bergerak seperti memberontak karena tangan dan kakinya masih berusaha mencapai permukaan.
Zura benar-benar sudah tidak kuat lagi, menangis dirinya dalam hati. Takut dan panik berkecamuk menjadi satu. Kegelapan di sekelilingnya semakin menjadi dan mencekik. Zura benar-benar tidak punya jalan keluar untuk selamat.
Lama-kelamaan, tubuh gadis itu berhenti berusaha, tenaganya telah habis. Tangisnya dalam hati mulai tak berarti, Kegelapan benar-benar melingkupinya tanpa tau apakah ada dasar bagi laut ini. Gadis itu membiarkan tubuhnya terkulai, sudah bersiap bertemu gelap yang lebih mencekik lagi. Kini taka da suara air yang memberontak lagi, yang ada hanyalah ketenangan dalam gelap.
Sangat gelap.
Tubuhnya terkulai lemas, teringat Zura akan wajah ayah dan ibunya. Tiba-tiba, sebuah tangan meraih tangan kananya. Lalu ada satu lagi tangan membelit pinggangnya. Kedua tangan itu membawa Zura mencari permukaan. Suara kepakan air itu kembali terdengar, kali ini kepakannya lebih kuat. Jelas bukan tangan Zura, tapi tangan orang itu berusaha membawa Zura menuju tempat dimana ia bisa bernapas.
"Zura, langitku sayang, bertahanlah," ucap orang itu dengan suara yang sangat lembut namun tersirat nada khawatir di dalamnya.
Suara berat nan tenang yang tidak asing di telinga Zura namun ia masih tak tahu siapa laki-laki itu.
Arka? Bukan, ini bukan suara Arka, batinnya.
Kelopak mata gadis itu terasa sangat berat, seperti di-lem dari dalam. Zura tidak bisa merasakan tubuhnya. Satu-satunya yang dia butuhkan sekarang adalah nafas.
"Jangan tinggalkan aku," ucap laki-laki itu lalu meemberikan napas buatan, menempelkan bibirnya ke bibir Zura dengan lembut, memberi satu dorongan bagi saluran pernapasannya agar membuka ruang kembali untuk udara.
Zura terkesiap. Matanya terbuka seperti orang yang dikagetkan sesuatu. Tidak ada suara air, yang ada hanyalah deru suara kereta. Ditelusurinya tubuhnya sendiri, memastikan itu hanya mimpi dan benar saja tidak ada yang basah.
Hanya mimpi, pikirnya panik.
Tanpa sadar, gadis itu mengap-mengap seperti benar-benar baru saja kehabisan oksigen. Keringat dingin sebesar biji jagung membanjiri wajahnya, anak-anak rambut di dahinya menempel nempel seperti baru saja disiram air.
"You okay?" tanya Arka yang panik setengah mati.
Laki-laki yang duduk di sampingnya pun meraih Zura, mendekap gadis itu di dadanya. Mengelus-elus rambutnya dan menepuk nepuk punggung gadis itu. Bajunya pun basah oleh keringat dingin Zura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh
Teen FictionEntah badai apa yang membuat dua manusia paling keras kepala ini terdampar pada pulau yang sama. Yang satu bersikeras ingin pergi, yang satu bersikeras ingin bertahan. Azura Nalani, namanya. Si keras kepala yang terlalu keras pada diri sendiri. Ber...