“Kakak.”
Suara lirih itu membuat gadis bermata coklat yang sedang melihat rumitnya jalan melalui bingkai jendela berpaling ke arah adiknya.Kepalanya menggeleng pelan, heran, sambil tersenyum. “Kamu terlihat sangat cantik, adik kecilku,” katanya sambil mencubit gemas hidung adiknya yang sebenarnya sudah tidak kecil lagi. Namun, sang kakak masih saja menganggap adiknya masih kecil.
“Tapi kak—“
“Tapi apalagi?”
Sang adik menghela napas panjang sebelum bicara, “Kak…” tercekat sang adik. “…memangnya kakak nggak bisa melanjutkan pendidikan kakak di Indonesia? Kenapa harus ke luar negeri,” pertanyaan adiknya membuat sang kakak terdiam selama beberapa detik. Namun dengan cepat wajahnya berubah menjadi sangat ceria.
“Hei, German itu keren tau,” katanya sambil menyerang pipi sang adik dengan gemas. “Lagian semuanya sudah dipesan, jadi tidak bisa dibatalkan,” lanjutnya sambil tertawa kecil.
“Kak aku serius.”
“Aku duarius, adik kecil,” katanya sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya di atas kepala.
“Kak, baru dua bulan yang lalu kakak lulus. Terus sekarang mau kuliah lagi gitu?!”
“Yeah, like you see,” kata sang kakak sambil berputar ke belakang adiknya lalu membenahi bunga-bunga hiasan rambut adiknya itu.
“Kak, kakak harus memikirkan masa depan kakak juga kak,” kata sang adik dengan suara lirih. Adik kecilnya menangis.
Tiba-tiba sang kakak beranjak merengkuh wajah sang adik. “Hei, jangan khwatir dengan kakakmu ini, kakak memang sedang mengurus masa depan kakak. Kakak tidak pernah melalaikannya,” kata sang kakak sambil memeluk sang adik.
“Jangan biarkan air matamu mengalir saat hari pernikahanmu, Renata,” kata sang kakak, masih memeluk adik kecilnya yang akan menikah itu.
“Kak Azura, aku hanya ingin kamu bahagia,” kata adiknya.
Segera Renata meninggalkan kesedihan itu di kamarnya. Tak lama kemudian, prosesi pernikahan pun tiba. Kedua pihak keluarga membaur menjadi satu. Hari pernikahan Renata, adik kecilnya akan menjadi hari terakhirnya di Indonesia.
“Hai, Zura apa kabar?” sapa Tante Riana, kawan baik Ibunya.
“Sangat baik, Tante,” ucapnya sambil bersaliman. “Tante apakabar?”
“Masih berusaha menurunkan berat badan nih,” jawab tante Riana sambil tertawa. “Adikmu dimana?” tanya Tante Riana.
“Sedang berdansa dengan suaminya di sana,” kata Zura sambil menunjuk tempat Renata dan suaminya berdansa.
“Cantik sekali adikmu itu, sama cantiknya dengamu,” puji Tante Riana. “Wajahnya terlihat masih muda tidak seperti anak umur 20-an. Memang berapa umur adikmu?”
“Renata, 25 tahun, suaminya 26,” jawab Zura sambil senyum-senyum sendiri melihat kemesraan adik kecilnya dan suaminya sedang berdansa.
Tiba-tiba seorang laki-laki datang meraih tangan Zura. “Wanna dance with me?”
“Arka, masih sangat ramai. Biarkan perhatian jadi milik adikku dan suaminya dulu,” kata Zura dengan lembut.
“Yasudah, Nona, nanti saya akan kembali bertanya jika Nona sudah siap,” jawab laki-laki itu dengan lembut. Zura menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum
Melihat hal itu, Tante Riana bertanya, “Nak, apa kamu tidak ada niat menyusul adikmu?” Tante Riana sedikit takut setelahnya karena takut menyinggung perasaan Zura. Namun apa daya kata-kata itu sudah terucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Separuh
Ficção AdolescenteEntah badai apa yang membuat dua manusia paling keras kepala ini terdampar pada pulau yang sama. Yang satu bersikeras ingin pergi, yang satu bersikeras ingin bertahan. Azura Nalani, namanya. Si keras kepala yang terlalu keras pada diri sendiri. Ber...