Aku berdiri di depan pintu, untuk pertama kali merasa enggan melangkah karena di sepanjang jalan di antara deretan bangku seakan memiliki duri-duri tajam yang siap melukai kaki. Orang-orang di dalam sana sudah berkumpul dengan pakaian seragam berwarna hitam, serta mengelilingi dua peti mati milik kedua orang tuaku.
Seperti suara milik sekumpulan lebah, aku bisa mendengar bagaimana mereka berbicara, saling mengenang bagaimana sikap kedua orang tuaku selama hidup. Sebagian besar menyayangkan kematian tersebut, sebagian lainnya mengasihani nasib kami; aku, Aiden, Daisy, dan Violet yang telah menjadi yatim piatu, tanpa harta.
Hanya Bibi Jasmine, Paman Jack, dan Mac yang tidak terlalu banyak bicara. Mereka hanya akan membuka mulut, jika seseorang mengajak berbincang dan lebih banyak diam. Tanpa mengatakan apapun, melihatnya saja aku bisa mengetahui bahwa mereka, memilih untuk menghibur adik-adikku saja, daripada turut bergosip.
"Kau baik-baik saja?" Suara yang sangat kukenal tiba-tiba saja terdengar dari sisi kanan, membuatku refleks melirik demi memastikan bahwa dia adalah gadis berambut pirang.
"Vivian ...."
Ia mengangguk kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya. "Aku turut berduka cita atas kematian orang tuamu, Crystal," kata Vivian, sembari memeluk serta menepuk pelan punggungku sebagai bentuk perhatian. "Mendengarnya sungguh membuat semua orang terkejut."
"Thanks."
"You're welcome, honey," jawab Vivian setulus biasanya kemudian menarik diri, tetapi kedua tangannya masih berada di lenganku. Ia menyelipkan sejumput rambut di balik telinga lalu merapikannya. "Mau kutemani ke dalam? Aku tahu Kau selalu menahannya sendirian, tetapi ingatlah menangis bukanlah sesuatu yang memalukan. Semua orang akan mengerti, Crystal."
"Jangan membual, Vivian," kataku lirih, sambil melepaskan tangan teman kecil sekaligus sahabat dari kedua lenganku. "Tidak semua orang akan memahami. Jika pertahananku hancur, maka orang-orang itu akan semakin menganggapku lemah."
"Itu hanya pemikiranmu, Crystal," ujar Vivian sembari menarik tanganku dan tanpa ijin, menyeret dengan paksaan menuju dua peti mati yang diletakkan saling berdampingan.
Semua mata pun mengarah padaku dan tanpa menoleh, aku sudah menyadarinya dari bagaimana mereka membicarakanku. Mengatakan bahwa aku adalah gadis berhati dingin, kejam, serta anak durhaka karena tidak terlihat sedih akibat ditinggalkan orang tua untuk selamanya.
Baiklah, orang tuaku sebenarnya menuntut agar aku tidak memperlihatkan kesedihan di depan adik-adikku, serta orang lain. Mereka mengatakan bahwa seorang pemimpin--di mana aku adalah adalah pemimpin adik-adikku--harus terus bersikap tenang, apapun yang terjadi. Akan tetapi, jika keadaannya sudah seperti ini, maka mereka seharusnya mengajarkanku sebuah alternatif.
Seperti ... aku baru saja meninju seorang wanita. Bukan wanita sembarangan, melainkan Bibi Marry. Pemilik peternakan sapi terbesar di desa yang dengan mudahnya mengatakan bahwa orang tuaku adalah pelacur.
"Apa yang kau lakukan, Crystal?!" Bibi Mary lantas memegang rahang kirinya, sedetik setelah aku melayangkan tinjuan di wajahnya. "Kau gila! Benar-benar tidak tahu diri."
"Balasan karena menyebarkan gosip tentang orang tuaku," jawabku lantang, mengabaikan suara ribut di sekitar kami. Mac dan Paman Jack bahkan menahan, sembari berusaha menenangkanku. "Jika kau pikir aku akan diam saja, maka kau melakukan kesalahan besar. Aku bisa saja membunuhmu."
Kedua mata hitam itu melebar, bersamaan dengan mulutnya yang terbuka. "Oh, my God. Dia benar-benar anak setan!" Bibi Mary menunjuk ke arahku kemudian melangkah dan mengarahkan tangannya di wajahku.
Namun, tamparan itu tidak berhasil mengenaiku saat Paman Jack memutuskan untuk menahannya. Diam-diam aku tersenyum.
"Ini upacara pemakaman. Keluarga yang ditinggalkan tengah berduka. Tidak bisakah kalian tidak membuat keributan sekarang?" tanya Paman Jack setelah berdiri di antara kami kemudian menoleh ke arahku. "Dan kau, tolong, Crystal, hormati kematian orang tuamu. Ini adalah cara terakhir kau berbakti pada mereka."
Apa katanya? Berbakti pada mereka?!
Kedua mataku melotot. Kekecewaan tiba-tiba saja merayap dari ujung kaki, hingga meninju ulu hati. Aku hanya ingin membela orang tuaku, setelah menurut untuk diam yang akhirnya justru merugikan.
"I'm sorry," lirihku sambil menoleh ke arah adik-adikku dan juga orangtuaku yang berbaring kaku di peti mati. "Aku bukan keluarga yang baik." Lalu dengan berat hati aku meninggalkan mereka.
Mengabaikan panggilan adik-adikku, serta omongan orang-orang yang mengutukku. Mereka pikir aku melakukan kesalahan fatal di upacara kematian orang tuaku, sehingga kehadiranku sekarang hanya dianggap akan membawa sial.
Jadi sebagai pelampiasan, aku meninju salah satu pohon pinus yang jaraknya tidak jauh dari gereja. Namun, sayangnya semua itu tidak akan pernah berhasil sebagai pelampiasan emosi. Kepalan tanganku terasa sakit, sehingga untuk mengabaikannya aku berlari sambil menggenggam tangan yang masih meninggalkan bekas kulit pohon.
Sungguh, rasanya berat meninggalkan upacara kematian ini. Seperti sedang melarikan diri karena tidak ingin menghadapi perpisahan. Namun, di waktu bersamaan akan menyesal karena melewatkan pertemuan terakhir.
Aku berada pada kebimbangan tersebut. Kedua kaki tetap saja bergerak cepat ke depan, tetapi di waktu bersamaan hati senantiasa meronta--memohon--agar aku berbalik dan kembali ke gereja.
Aku terus berlari dengan kecepatan maksimal. Melampiaskan kemarahanku melalui energi yang sengaja dikuras, hingga tidak tersisa lagi. Rasanya benar-benar menyebalkan menjadi tersangka, padahal ingin membela orang tua. Dianggap kriminal hanya karena meninju orang kaya.
Diam yang diajarkan orang tauku, ternyata hanya membuat kami semakin diinjak-injak.
Sekali lagi, ini membuatku marah luar biasa sehingga aku ....
... menangis?
Aku sadar bahwa pipiku telah basah. Suara sesenggukan terdengar jelas di telinga, sebelum tubuhku menghantam tanah akibat tersandung akar pohon. Ini adalah akhir yang teramat bagus. Pertahanan yang dibangun dengan sangat kokoh, akhirnya hancur juga hanya dalam hitungan kurang dari satu jam.
"Sudah cukup. Kenapa selalu menangis?" Aku mengusap air mata menggunakan kedua tangan, tetapi cairan sebagai luapan emosi itu tak kunjung berhenti. Rasa lelah akhirnya mendominasi, sehingga ketika telapak tanganku menutupi wajah aku ....
... akhirnya bisa menangis dengan kencang.
Meluapkan segala emosiku.
Seperti anak kecil yang kehilangan orang tuanya.
Lebih menyakitkan, daripada saat aku mengalami patah hati.
"Maafkan aku, Mom, Dad," kataku lirih di antara isak tangis.
Kedua kakiku gemetar, saat aku memaksakan diri untuk kembali bangkit kemudian melangkah semakin memasuki hutan. Keputusasaan telah menuntunku melakukan perjalanan ini seorang diri yang mana Aiden dan Mac sekali pun, tidak akan melakukannya sendirian.
Aku terus melangkah, mengikuti satu-satunya jalur setapak, dan senantiasa menghapus air mata karena masih menangis dalam diam. Suara-suara di sekitar pun hanya berasa dari gesekan ranting pohon, serta hewan-hewan liar lainnya, atau sesekali--jika beruntung--akan bertemu hewan ternak yang tersesat.
Sayangnya, aku lebih sering sial daripada beruntung sehingga sepanjang perjalanan, hanya menemukan kesunyian tanpa akhir karena hanya aku yang berada di sini.
Yang benar-benar sendirian.
Dalam keadaan sangat menyedihkan.
Akan tetapi, ketika hanya tersisa beberapa langkah dari air terjun. Sayup-sayup aku bisa mendengar, dua orang yang tengah berdebat dan--
"Apa yang kau lakukan di sini?"
... aku mendongkak ke arah asal suara lalu ....
... pandanganku seketika menggelap, seiring rasa sakit di ulu hati yang melumpuhkan.
Sial! Seharusnya aku tidak perlu menuruti rasa penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of the God of Destruction
RomanceHyunjin adalah manusia setengah dewa. Dianggap aib bagi para dewa karena kemampuan merusak yang mampu membunuh siapa saja, sehingga ia dibuang ke bumi. Pertemuannya dengan Crystal pun, menjadi cara agar dia bisa menjadi manusia seutuhnya. Akan tetap...