Hyunjin menggenggam tanganku ketika kami berjalan di jalan berumput selebar kurang lebih satu meter. Bagian atasnya memiliki tumbuhan merambat yang ditopang deretan tiang-tiang di sisi kanan dan kiri jalan, dan diantara tiang-tiang itu ditumbuhi tanaman hias.
Aku menoleh ke kanan dan kiri, demi mengetahui di mana kami sekarang (meski Hyunjin telah mengatakan ini adalah tempat ayahnya) karena beberapa awan yang melintas di langit pun, tampak berbeda. Seperti terdapat angin kencang di atas sana, tetapi tidak berefek pada kami yang berjalan di bawah sini.
Apakah ini surga? Otakku mulai menanyakan hal-hal konyol karena pemandangan yang terlihat, tak jauh berbeda dengan gambaran surga di gereja.
Aku menggeleng pelan lalu mengerjap, serta menggenggam lebih erat tangan Hyunjin. "Apa kita masih harus berjalan lebih jauh?" tanyaku pada lelaki itu ketika sadar jalan tersebut, tampak tak memiliki akhir.
Mengangguk membenarkan, Hyunjin menjawab, "Pikiranmu akan menjadi kenyataan di sini, jadi jika beranggapan jalan ini tak berujung, kau akan melihatnya demikian."
"Apa ini surga?"
"Ya, di melalui matamu tempat ini terlihat seperti itu."
Kedua alisku menyatu untuk beberapa detik dan entah apa yang kupikirkan, aku menghentikan langkah kakiku dan Hyunjin mengikuti.
Hyunjin tampak penasaran, sehingga ia bertanya, "Ada apa?"
"Aku penasaran." Jeda sesaat, aku mengamati keadaan sekitar. "Apa yang terlihat di matamu?"
"Kau penasaran?" tanya Hyunjin, seakan ingin memastikan perkataanku sebelumnya.
Aku mengangguk dan dia pun kembali berkata, "Baiklah, kemari, akan kuperlihatkan."
Menggeser tubuhku hingga menyentuh ujung sepatunya, aku mengikuti perintah Hyunjin. Ia tersenyum tipis, sama seperti wajahnya yang samar-samar terlihat suram. Lalu pria itu mengarahkan tangan kirinya di depan mata, hingga pandanganku terhalang.
"Tutup matamu, Crystal."
Baiklah. Tutup matamu dan banyak bicara. Lalu aku tidak tahu apa lagi yang Hyunjin lakukan. Aku hanya menghitung, sekaligus menebak-nebak karena Hyunjin pernah berkata bahwa para dewa--termasuk ayahnya--menganggap dia sebagai aib. Itu tidak adil, menurutku. Sungguh!
Tidak ada anak yang meminta dilahirkan. Hadirnya Hyunjin adalah kesalahan orang tuanya. Aku bertanya-tanya tentang bagaimana mereka memperlakukan Hyunjin, hingga ia mengatakan reinkarnasi sebagai hukuman. Padahal bagi kami itu adalah kesempatan untuk memperbaiki diri.
Bagaimana kesepian membuatnya takut kehilangan, sehingga menanamkan kristal miliknya di tubuhku, hanya demi memastikan aku akan kembali di kehidupan selanjutnya?
Aku selalu penasaran dengan hal-hal tersebut. Namun, melihat bagaimana keadaan Hyunjin, aku memutuskan untuk menunggu karena tidak ingin menyakitinya.
Dan sekarang adalah waktunya! Aku mengangguk sambil mengangkat tangan kanan yang mengepal, melalui imajinasi. Jauh di lubuk hati bertekad akan menginterogasi orang tua itu, serta memastikan perkataan Jackson.
Benar, pria itu tidak boleh dilewatkan sedikit pun.
"Crystal." Suara Hyunjin memutuskan pemikiranku. "Kau bisa membuka matamu," katanya dan aku langsung mengikuti perintah tersebut.
Lalu kedua alisku menyatu. Sedetik kemudian mataku menyipit, dan selanjutnya aku menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang, sebelum melepaskan tangan Hyunjin. Aku melangkah menghampiri tumbuhan hias yang berada di antara jajaran tiang-tiang pergola, menyentuhnya untuk sekadar memastikan, serta beralih pada pemandangan di atas kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of the God of Destruction
RomanceHyunjin adalah manusia setengah dewa. Dianggap aib bagi para dewa karena kemampuan merusak yang mampu membunuh siapa saja, sehingga ia dibuang ke bumi. Pertemuannya dengan Crystal pun, menjadi cara agar dia bisa menjadi manusia seutuhnya. Akan tetap...