Bab 7. Jawaban Herlan

1.1K 73 3
                                    

“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum 'kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”

Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?

Aku duduk di kursi seberang Herlan setelah dipersilahkan.

“Arum ada di rumah, kok. Dia enggak ikut ke sini,” ucapku berpura-pura. Aku semakin penasaran apa yang baru saja Herlan katakan tentang istriku. Benar-benar ingin tahu kapan Arum ke Bandung dan dengan keperluan apa?

“Maksudnya kapan? Kira-kira masih ingat enggak tanggalnya?” tanyaku. Semoga saja temanku itu tak curiga dan merasa janggal dengan pertanyaanku. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau kedatanganku ke Bandung selama ini tanpa Arum dengan niat ingin menemui istri mudaku bukan seminar, yang sering aku jadikan alasan.

Herlan berpikir sejenak mencoba mengingat-ingat. Dahiku mengernyit menunggu jawaban dari temanku itu.

“Wah, gue lupa, Ga. Tapi, yang pasti itu kurang lebih sudah ada satu bulan yang lalu dari sekarang. Memangnya Arum enggak cerita kalau kita ketemu, sama Lo?”

Aku menggeleng, “ Ah ... mungkin dia lupa,” jawabku masih bersandiwara.

“Gimana kabar, Lo. Makin sukses aja, nih! Oh iya, gue denger Lo udah tunangan, ya. Kapan menikah? Jangan lupa undangannya ditunggu!” ucapku mengalihkan obrolan. Takut temanku curiga kalau bertanya Arum lebih lanjut.

Cukup lama kami mengobrol mengenang masa lalu saat kami sama-sama masih menjadi pelajar. Kelucuan Ibnu yang humoris dan segalanya. Mang Mansur yang sudah beres membayar tagihan makanan yang kupesan di kasir langsung ke tempat parkir setelah mengembalikan ATM padaku.

Perbincangan dengan Herlan sangat menyenangkan, membuatku hampir lupa waktu karena terlalu asyik mengobrol. Ponsel di saku berbunyi, menandakan ada notifikasi masuk. Ternyata Erika mengirimkan pesan, menanyakan keberadaanku, sebab terlalu lama menunggu.

Aku pamit kepada Herlan, berniat untuk kembali ke Rumah Sakit menemani Erika. Temanku itu berjanji untuk mampir ke rumah kalau sedang ada pekerjaan di Jakarta. Aku senang sekali kalau dia mau mampir. Sekalian merasakan masakan Arum yang super lezat.

Tiba-tiba saja aku teringat istriku kembali. Bagaimana aku bisa menyuruh Arum, kalau keberadaannya saja aku tak tahu.

Ah, mungkin saja aku cepat-cepat akan menemukannya. Dia segera pulang ke rumah kami seperti biasa.

Di dalam perjalanan Erika terus saja menelepon, membuatku mendesah merasa kesal juga. Namun, kembali berpikir positif kalau dia memang butuh perhatianku saat ini.

Setelah sampai di Rumah Sakit, aku menyuruh  Mang Mansur untuk mencari hotel untuk menginap.

“Mamang cari hotel saja untuk menginap. Besok pagi kita kembali ke Jakarta. Jadi, Mamang siap-siap untuk kepulangan besok,” jelasku.

“Iya, Den.” Mang Mansur menurut, dia melajukan kembali mobilnya sedang
kan aku menemui Erika.

Saat masuk ke ruangan perawatan istri mudaku itu, Erika tersenyum semanis mungkin. Aku menghampirinya, mencium kening serta bibir milik Erika sekilas.

“Mas, kok lama, sih?” manjanya sambil cemberut. Aku membelai pipinya yang mulus, sambil tersenyum kepada Erika.

“Maaf lama, Mas tadi ketemu Herlan. Dia teman SMA dan kuliah, Mas. Kami sudah lama enggak ketemu. Jadi, malah lupa waktu saat mengobrol.” Aku mencoba menjelaskan. Semoga saja Erika mengerti.

“Bener? Bukan karena hal lain, kan?”

Aku menggeleng menyangkal ucapan istriku ini. Karena sudah meminum obatnya Erika bilang mengantuk. Jadi, dia ingin istirahat sebentar. Aku mengiyakan, lagi pula ini sudah malam. Badanku juga sudah lelah, baik badanku atau pikiran. Dari kemarin aku kurang tidur. Apalagi terus terang dalam mimpi pun selalu terbayang wajah Arum.

Kurebahkan badanku di kasur bersama Erika. Dia meminta tidur dalam pelukanku. Sungguh manja sikap Erika kalau sudah bersamaku. Karena kelelahan tak sadar diri ini terlelap sambil mendekap istriku.

💕💕💕💕💕

Kulihat tubuh Arum dari kejauhan, dia berjalan tanpa menoleh ke belakangku. Apa dia tak tahu keberadaan suaminya ini?

Aku tersenyum, akhirnya dia bisa aku temukan juga. Kususul istriku itu, mendekapnya dari belakang. Membuat Arum menegang seketika, tetapi tak bereaksi apa pun.

“Sayang, Mas kangen sama kamu. Ke mana saja? Kenapa enggak pulang?” Aku tak melepaskannya sedikit pun. Memeluk tubuh Arum dengan erat. Seolah ketakutan dia pergi meninggalkanku. Kupandangi wajahnya yang terlihat sendu, dengan mata yang sembab terdapat bekas air mata.

“Kenapa kamu menangis, Sayang?” tanyaku mengorek perasaannya.

Namun, dia membisu tak menjawab segala pertanyaan dariku. Setetes air mata jatuh  lalu kuusap pipinya dengan tanganku. Saat hendak mendekapnya kembali, reaksinya membuatku terkejut sekaligus kehilangan. Dia malah mundur beberapa langkah dariku.

“Kenapa,  Sayang?”

Akan tetapi, Arum tetap diam membisu. Perlahan mundur dan tiba-tiba saja menghilang. Membuatku seketika itu pula panik mencari keberadaannya. Kuberlari ke sana ke mari menyusulnya, tetapi istriku tetap tak ada.

Kupanggil dia sekencang mungkin, masih tak ada sahutan. Aku berteriak dengan keras. Tiba-tiba tersentak sambil terbangun dari tidurku.

Ternyata semua ini hanya mimpi, Arum menghilang persis dengan yang ada di mimpi buruk barusan. Keringat mengucur dengan deras dari pelipisku. Sekali lagi, aku harus menerima kenyataan kalau Arum tak ada di sisiku.

Erika masih nyenyak dengan tidurnya. Membuatku menghela napas, bersyukur dia tidak tahu kalau aku memimpikan Arum. Kalau tidak, segala sesuatu yang berhubungan dengan istri pertamaku itu selalu membuatnya cemburu.

Apa sebenarnya arti dari mimpi burukku itu? Kenapa Arum menangis? Apa ini ada hubungannya dengan alasan dia pergi.

Untuk beberapa saat aku melupakan istriku yang masih hilang. Sekarang aku mengingatnya kembali apa yang dikatakan Herlan. Kenapa Arum pergi ke Bandung, tetapi tak mengabariku atau sekedar meminta izin. Apa yang di lakukan dia di kota ini?

Apa Arum menyusulku ke sini? Tapi untuk apa?

Tiba-tiba sekelebat dalam pikiran, bagaimana kalau istriku itu membuntuti saat diri ini menemui Erika di rumahnya. Inikah alasan Arum menghilang?

Bagai ada yang menancapkan sebilah pedang tepat ke jantungku. Dadaku sesak mengingatnya. Tanganku terkepal merutuki diri yang teramat bodoh. Kenapa aku tak sadar kalau dia sudah tahu aku sudah menikah kembali dengan Erika. Pantas saja Arum berubah menjadi pendiam. Aku yang tak peka akan perubahan darinya.

Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.

Bersambung.

Sesal (Alasan Menghilangkannya Istriku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang