9. Sekolah Baru

650 83 3
                                    

Ini adalah cerita beberapa hari yang lalu. Ketika Anes mengantar duo kembar dan juga putri kecil mereka ke sekolah yang baru.

Saat itu mereka tengah berada di ruang kepala sekolah dan juga ada satu orang guru menemani. Kebetulan guru tersebut yang akan jadi wali kelas dua dari tiga anak Aneska. Kebetulan berikutnya adalah guru tersebut merupakan teman Anes dan Dzaka semasa SMA.

"Jadi ... mereka berdua sekaligus masuk kelas saya? Dan satunya lagi masuk ke kelas rekomendasi dari saya aja?" tanya guru berbadan sedikit berisi dengan mata cokelat yang terang itu.

"Iya."

"Kenapa dua orang ini harus ke kelas saya?"

Tatapannya tertuju lurus pada sang kepala sekolah yang duduk sendiri di bangku paling kanan.

"Yah ... kelas XII IPA 4 kan, jadi kurang orang setelah ada empat yang berhenti sekolah."

Guru dengan name tag Reno Saputra di bajunya itu hanya dapat tersenyum ketir. Ia melirik ke arah Anes sekilas.

"Kamu pasti bisa." Si kepala sekolah berdiri. Menunduk pada Anes kemudian berlalu pergi setelah menepuk pundak Reno sekilas.

'Orang tua itu pasti tau kalo anak-anak ini bermasalah.'

Reno membatin dengan jeritan paling nyaring di dalam hatinya.

"Hah ... Anes. Udah lama ya, lo apa kabar?" Reno menyapa seadanya sambil meraih berkas pendaftaran Adzra, Adzriel, dan Kylie.

"Ohh ... jadi ini kata Dzaka kalo dia bakal atur semuanya, ya. Hehe. Nitip anak-anak gue Ren--eh, Pak Reno."

"Jadi lo minta biar gak ngasih tau siapa-siapa kalo mereka bertiga sodara?" ucap Reno sambil membaca berkas demi berkas tersebut.

"Iya. Itu permintaan Kylie."

"Kylie."

"Iya!"

"Dari nilai-nilai kamu ini ... kamu bisa masuk kelas X IPA 1. Gimana? Mau?"

"Itu jauhan nggak, kelasnya sama setan berdua ini?"

Reno melihat pada arah tunjukan jemari Kylie. Sepertinya gadis ini sangat membenci kedua kakak kembarnya.

"Iya. Beda gedung malah."

"Kalo gitu saya mau, Pak!"

"Oke. Bagus."

Reno kembali melirik pada Kylie lagi. Wajah itu mengingatkan Reno pada kenangan saat-saat masa sekolah yang dipenuhi kegilaan.

"Pak." Adzriel menyela tatapan Reno.

"Ada apa?"

"Nggak papa. Bapak udah banyak berubah ya," celetuk Adzriel seolah ia adalah teman semasa SMA nya Reno.

"Apa maksud kamu?"

"Foto Bapak itu sering--hmpphh?"

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, mulut Adzriel sudah penuh karena disumpal kertas oleh Anes. Entah sejak kapan wanita itu mengambil kertas HVS di meja kerja kepala sekolah dan sudah berada di belakang kursi tempat putranya duduk.

"Bukan apa-apa, Pak Reno. Coba lanjutin aja interograsi, eh. Maksudnya tanya-tanya ke mereka."

Reno tahu kalau dia akan mendapatkan masalah dengan menghadapi anak-anak Anes dan Dzaka ini.

"Adzra, Adzriel, Kylie. Coba tulis di sini. Isi biodata kalian. Biar Bapak kenal aja. Baru habis itu Bapak antar ke kelas kalian masing-masing."

Anes mendelik tajam ketiga anaknya agar segera mengeluarkan pulpen untuk mengisi kertas yang diserahkan Reno tadi.

"Hmm ... Pak." Adzra memanggil.

"Kenapa?"

"Mau minjem pulpen."

"Adzra!" Anes menegurnya.

"Aku nggak gak bawa pulpen, Ma."

"Ya ampun. Kok bisa?"

Reno menunjukkan ekspresi datar meski di dalam hatinya mulai bergejolak. "Kenapa gak bawa?"

"Enak ngambil--eh. Maksudnya enakan minjem punya temen."

"Biar apa kaya gitu?"

"Lho, Bapak gak tau triknya?" Adzra bersedekap sambil mencibir dan menggelengkan kepalanya. Seolah sangat kasihan pada sosok Reno.

"Kasian ya, Bapak. Pantas gak ada temen."

Ada urat yang mulai bermunculan di kepala sang guru. "Kamu jangan kurang ajar."

"Maaf, Pak. Gak maksud. Tapi tadi itu trik psikologi. Kalo mau deket sama orang, coba minjem barang dia. Dari situ kita bisa akrab." Adzra memberikan alasan mutlak.

Reno yang kehabisan kata-kata hanya dapat mendesah pasrah. Lantas memberikan pulpen di meja tadi kepada Adzra.

"Pak." Kali ini Adzriel yang memanggil.

"Hm?"

"Bisa minjam pulpennya juga, nggak?"

Habis sudah. Anes menahan napasnya.

"Kalian ini sekolah gak bawa pulpen, hah?" Reno mulai meninggikan suara.

"Nggak," jawab Adzriel enteng.

"Kon--hah! Kenapa gak bawa?"

"Maksudnya bawa. Tapi saya kan, sayang sama dawat pulpen saya. Ini tips biar berhemat!"

Hemat pantat lo peyang. Reno mengumpat dengan ekspresi wajahnya. "Bapak kamu bisa beli sekolah ini, lho."

"Itu kan, bapak saya. Bukan saya."

Sial. Dia benar juga. Reno bahkan tidak bisa menang debat dari anak Dzaka.

"Ck! Cepet pake ini." Tidak ingin memperpanjang debat, Reno segera menarik pulpen dari saku bajunya.

"Em ... Pak." Dan tibalah saatnya Kylie yang bersuara.

"APA LAGI?" Reno mulai habis kesabaran.

"Anu, saya--"

"Di sini bukan lapak jual pulpen!" cetus Reno.

"Bukan, pulpen."

"Terus apa?"

"Saya haus. Mau minum."

Reno langsung mendelik ke arah Anes. Wanita itu hanya cengar cengir.

"Kami ngadepin beginian tiap hari lho, Pak Reno."

"Kenapa ... manusia random kaya kalian harus punya anak, sih?"

"Dari pada lo yang nunggu si ehem di luar negeri sampai menjones lama kaya gini."

"Lo ngajak gue ribut namanya ini, Anes."

"Boleh juga. Mau ke ring tinju, gak?"

TBC

My Absurd FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang