Chapter: Twenty

2.4K 597 84
                                    

"Dreams are dangerous thing and money is everything."
Winona Oak – She

*

Setelah semalaman mempertimbangkan keputusannya, pemuda itu memutuskan untuk mendatangi griya tawang kediaman Salim untuk menerima pekerjaan ini.

Dibantu oleh penjaga keamanan gedung apartemen super mewah tersebut, ia berhasil berdiri di depan pintu yang akan menentukan nasibnya kelak.

Meera—yang sejak pagi sudah duduk manis menunggu kedatangan Daemon di ruang tamu—langsung bangkit saat salah satu asisten rumah tangganya memberi tahu jika ada lelaki super tinggi yang datang dan memperkenalkan diri sebagai seseorang yang akan menjadi bodyguard gadis itu.

"Suruh masuk," titah Meera pura-pura sibuk dengan majalah resep yang ia gunakan sebagai properti semata. Tentu saja! Meera, kan, tidak bisa memasak. Belum lagi sekarang sudah ada yang namanya gadget, sudah tidak zaman membaca lewat tabloid. Tapi entah mengapa setiap kali melihat Jannah melakukannya terlihat sangat elegan. Maka dari itu, Meera ingin membuat kesan kedua yang berbeda. Karena jujur saja...

Meera menyesal karena terlihat seperti "cewek mauan" di pertemuan pertama mereka. Secara teknis, pertemuan kedua. Dan ini adalah pertemuan ketiga.

"Baik, Non."

Sementara sang bibi kembali ke depan pintu utama, Meera bergegas meraih lip gloss kesayangannya dan mengoleskannya pada bibir secepat kilat. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar semakin dekat dan Meera tahu sosok itu telah berdiri di hadapannya.

Sayangnya, gadis itu seperti berpura-pura tidak melihat. Kepalanya terus menunduk dengan tatapan yang tidak lepas dari majalah di atas pangkuan.

Daemon pun berdeham kecil. "Selamat pagi, Non Meera."

Sudut bibir Meera tertarik samar sebelum akhirnya mendongak usai mengembalikan ekspresinya menjadi datar. "Oh, you came," ucapnya, pura-pura tidak antusias. Meski begitu, tatapannya menelusuri lelaki menjulang tersebut. Dengan jaket jeans lusuh, sepatu converse dekil, dan celana yang lututnya sudah robek akibat "telah dimakan usia", bukan karena memang modelnya begitu.

Damn! Kalau saja Meera tidak pernah memiliki "mimpi" yang membuatnya sulit menerima kenyataan saat tersadar, tipe cowok seperti ini pasti masih menjadi urutan teratas dalam daftar yang paling Meera hindari.

Di balik masker, Daemon tersenyum canggung. "Iya," responsnya, bingung.

"Oke kalau gitu, langsung aja ya." Meera bangkit dari tempatnya seraya melemparkan manis, tapi tidak terlalu manis. Masih ditahan-tahan olehnya. "Gue jelasin apa tahapan selanjutnya."

Daemon mengerjap-ngerjap. Ia benar-benar lupa kalau prosesnya tidak hanya sayembara kemarin. Jelas saja, gajinya pun sudah melebihi dari cukup baginya alias 10 juta per-bulan. Bara juga mengatakan jika angka tersebut adalah gaji murni yang diterima. Belum termasuk bonus dan hal lainnya.

Kalau dipikir-pikir, Salim sangat beruntung. Hidup keluarga ini penuh akan kemudahan. Hal tersebut pun memang wajar, mengingat...

Nasib mereka sekarang ada pelangi yang seharusnya timbul usai hujan.

"Are you listening?"

Pertanyaan itu membuat Daemon tersadar dari lamunan. "Maaf, Non."

Meera mendengus seraya memutar mata. "Rule number one, tetap jaga pikiran sesuai dengan raga. Gue nggak suka pengulangan," tegasnya.

Daemon mengangguk. "Baik."

"Jam sepuluhan nanti kita ke mall. Habis itu, kita—"

"Maaf sebelumnya, Non, saya nggak bisa masuk mall kayaknya." Daemon meringis kecil. "Saya belum vaksin."

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang