Chapter: Six

3.8K 906 105
                                    

"This girl right here's gonna rule the world."
Daya – Sit Still, Look Pretty

*

"Gimana keadaan lo?" tanya Meera pada Zain. Sudah lima hari berlalu, pastilah kondisi lelaki itu harusnya sudah baik-baik saja. Terutama, aset yang telah menjadi sasarannya.

Zain tersenyum. "Udah baik-baik aja, Bos. Maaf soal kemarin. Gue nggak maksud—"

Meera mengibaskan tangan lantas membuka maskernya. Meskipun sudah kebal dari virus, ia tetap menggunakannya di luar, terutama di depan masyarakat biasa sebagai formalitas, seperti anggota Red Cobra lainnya. "Nggak usah dibahas. Asal jangan diulangi lagi."

"Pasti, Bos. Si Pablo udah kapok."

Sebelah alis Meera terangkat. "Pablo?"

Zain meringis kecil. Menyadari dirinya telah kelepasan berbicara "seenaknya" pada sang pemimpin. Padahal, sepanjang sejarah tidak ada yang bisa sesantai ini antara bos dan anak buah. Semua ini karena Meera memberikan suasana baru dalam kelompoknya yang selalu kaku. "Iya. Anu ..."

"Ah," Meera manggut-manggut, sudah paham tanpa perlu Zain menjelaskan secara rinci. "Hmm, kalau gitu ..." Kemudian ia menangkup sepasang buah dadanya dengan kedua tangan. "Should I call them Vanessa and Marilyn?" tanya gadis itu, menyadari jika memberikan nama pada "mereka" ternyata merupakan ide yang cukup menarik.

Bukan hanya Zain, beberapa anggota Red Cobra yang sejak tadi mengamati keduanya pun sontak mengalihkan pandangan. Berpura-pura sibuk mengamati atap, dinding, hingga ubin markas mereka.

"Heh, gue tanya!"

Mau tidak mau, Zain langsung mengangguk. "B-boleh, Bos. Cantik kok namanya."

Seringai Meera pun muncul. "I know right!" Meera berdecak kagum seraya mengibaskan rambut merahnya. "Kalian semua juga kayaknya harus gue kenalin sama anak-anak gue."

Tidak lama kemudian, Meera sudah melangkah ke sebuah meja setinggi lutut dan meletakkan sebelah kakinya di atas sana. Menunjukkan high heels berwarna magenta yang dikenakannya hari ini. "Boys, meet my pretty girl, Pinkan."

Ada yang hanya mengangguk, ada pula yang ikut menyapa "Pinkan" seolah benda tersebut bernyawa.

"Kalian udah ketemu sama Angel, Bianca, Tiffany, Jill, Nichole, dan ..." Meera mengetuk-ngetuk dagunya. "Ng, gue lupa. Terakhir gue ke sini pakai warna apa ya?"

Cukup lama Meera berpikir sampai ia kesal sendiri karena tidak mengingatnya saking banyak high heelsnya. "Oh iya, si Clara!" gadis itu menjentikkan jemarinya, merasa bangga karena tidak jadi "melupakan" heels model clear strap dengan hak transparan yang kerap terlupakan olehnya karena terlihat seperti tidak memakai alas kaki!

Hening. Seluruh anggota tampak bingung bagaimana harus merespons. Menyadari hal tersebut, Meera menurunkan kembali kakinya dan berdeham kecil. "Kalian baik-baik aja selama gue nggak ada kemarin?"

Selama menjabat sebagai bos, Meera memang tidak selalu hadir di markas sebagaimana tugasnya sebagai pemimpin yang dijelaskan oleh anggota. Meera masih melakukan aktivitasnya seperti biasa. Bergabung dengan Red Cobra benar-benar tidak mengusik waktunya sedikit pun. Kalaupun iya, itu juga karena dirinya yang bersedia "terlibat".

Vero, lelaki yang memiliki luka memanjang pada tulang pipi hingga nyaris menyentuh pelipisnya—yang pernah "membius" Meera dengan sapu tangannya saat penculikan gadis itu—bersuara, "Baik, Bos. Cuma ..."

Meera menatap lurus Vero tanpa berniat menginterupsi.

"Dua hari lalu kita udah datangin markas Black Tiger buat peringatin mereka secara baik-baik untuk nggak sembarangan lewat ke wilayah ini. Sepanjang sejarah, kita pun nggak pernah ke wilayah mereka tanpa izin dan tanpa tujuan. Tapi kayaknya, mereka nggak terima."

Meera menelengkan kepalanya. "Biar gue tebak, mereka bakal datang ke sini?"

"Mungkin, tapi nggak tahu kapan."

Seandainya Meera adalah orang biasa yang tidak tahu tentang "territory" tiap kelompok, mungkin Meera akan sewot dan berteriak, "emang ini jalan nenek moyang lo?!" tapi sayangnya, sekarang ia tahu alasan mengapa Red Cobra sangat menjaga kekuasaan mereka, begitu juga yang lain.

Jika dibiarkan, mereka mungkin akan "meremehkan" sehingga lambat laun, perlakuan tersebut akan dikatakan lumrah. Risikonya, Red Cobra perlahan akan kehilangan wilayah mereka.

Territory bagaikan rumah. Jika ada "tamu" yang sembarangan masuk dan tidak ditegur, mereka akan menganggap bangunan tersebut adalah tempat tinggalnya juga. Worst, bisa jadi sang empunya justru terpaksa/dipaksa pergi karena tidak lagi merasa aman serta tidak lagi mampu menggunakan "kekuasaannya" di area sendiri.

"Oke, nggak perlu diambil pusing. Gue yakin, mereka bukan tandingan kita. Orang yang mudah terpancing emosinya, biasanya adalah orang yang gegabah." Meera lantas berbalik badan, hendak berlalu karena tidak ada hal yang mengharuskannya menetap di markas. "Hubungi gue kalau kalian butuh. Dalam kondisi apa pun."

Saat Meera keluar dari markas, kala itu jugalah seseorang dari kejauhan mengenakan kembali kacamata hitamnya dan berlalu dari persembunyian.

***

Dalam sebuah ruangan yang tampak mewah dan dipenuhi oleh barang-barang antik, seorang kaki tangannya menghampiri sang penguasa yang paling ditakuti. Seraya menyerahkan berkas, ia memberi tahu bila misinya dalam menemukan sang target telah diselesaikan.

Pria yang duduk di kursi kejayaannya tersebut membuka isi amplop cokelat besar yang diletakkan di atas meja. Sudut bibirnya yang terdapat sebatang rokok, tertarik membentuk senyuman sinis. "Al Meera Salim," gumamnya dengan sebelah mata berkedut, lalu melanjutkan, "Si bungsu dari Salim."

Orang kepercayaan di hadapannya membungkuk singkat. "Benar, Bos. Sudah dipastikan jika Salim adalah yang kita cari selama ini. Saya berani pertaruhkan nyawa saya sendiri."

Pria itu manggut-manggut, puas. Karena jika sudah ada pernyataan demikian, tidak terdapat kekeliruan sedikit pun di dalamnya. Ia bukanlah sosok yang bisa menoleransi kesalahan.

Red Cobra adalah kelompok yang tidak pernah mencari masalah dengannya. Sekalipun pernah berhadapan langsung dengan kepolisian, tidak satu pun di antara para anggotanya yang berani membuka mulut tentang rahasia besar sang ketua mafia yang merupakan bandar narkotika terbesar di negaranya. Mereka tidak pernah berpihak dengan siapa pun. Tidak polisi, tidak juga mafia.

Namun, tidak setelah kedudukan sang pemimpin digantikan oleh sosok yang menarik perhatiannya.

"Kirim seseorang ke mereka," titah pria itu, tidak terbantah. "Segera."

Sang kaki tangan lantas membungkuk 90 derajat sebelum akhirnya berlalu untuk menemui anak buah mereka yang dirasa pantas menerima tugas ini. Meskipun tidak diutarakan secara gamblang, ia tahu apa yang harus dilakukan. Itulah mengapa dirinya menjadi kepercayaan dan orang yang begitu diandalkan bosnya.

Begitu kembali sendiri dalam ruangan, sang pemimpin melirik pigura hitam berukuran A5 yang menghiasi sudut mejanya. Tatapan tajamnya lantas meneduh pada sosok perempuan berambut pendek kelam yang selalu tersenyum ke arahnya.

Sebentar lagi, dendamnya akan terbalaskan.

👠

Dikit ya? Maaf, emang segini doang ternyata T..T tapi tenang, next chapter kita akan masuk ke bab yang mungkin di antara kalian sudah tunggu-tunggu hehe

Alright, see u!
Thank u buat yang sudah mampir ya ^^
Semoga kisah Meera tidak membosankan huhu
Love u!

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang