Pias Pertama ; Prolog

19 6 0
                                    

Adaptasi - Tulus
1:20 ───|────── 3:08

Adaptasi - Tulus1:20 ───|────── 3:08

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❏ Pias Prolog

.
.
.
.

Yogyakarta, 1990

'Parasnya begitu menawan, tak terbantahkan dan memang mutlak. Tepi mulutnya candu namun tak seperti cerutu dan ciu. Amboi, betapa eloknya teruna manis ciptaan sang kuasa yang ada di imajinasi ini.'

'Berkali-kali berupaya mencerna, bagaimana rasanya jatuh kepada seseorang yang akan kudamba? Tak kupungkiri jika saya memang jatuh cinta atau hanya tertarik semata.'

'Yang kutanya, kapan saya bersua? Dengan kirana yang t'lah saya nanti begitu lama.'

Anak Adam itu begitu tampan, alis tebalnya menukik penasaran dengan sajak yang akan ia ketik berikutnya. Sedikit ada rasa yang bergejolak di dalam diri, Laksana Khailid tersenyum manis menatap mesin ketiknya.

"Sebenarnya, saya itu terjebak dalam imajinasi. Makanya begitu lama saya mendapatkan dambaan hati," khailid terkekeh lucu, merasa jika sajak yang ia ketik terlihat begitu jenaka.

Di samping lelaki itu, banyak sekali lembaran-lembaran yang bercerai-berai, pita mesin ketik yang sudah tandas, dan segelas teh melati buatan nenek.

Sebelum melanjutkan acara 'ketik-mengetiknya' lagi, Khailid menghampiri wanita lawas kisaran usia enampuluh-satu tahun yang tengah mengukus singkong.

"Nini, sudah makan?" Tanya Khailid. Lengan teguhnya melingkar di tubuh Eila-nenek keriput namun paras pesonanya tetap kasat mata.

"Ampun, sangat mengejutkan nini sekali, Laksana," gurau Eila, senyumannya tak luput dari paras ayu itu. Lantas, Khailid melepaskan dekapannya dan meminta maaf.

"Maafkan cucu mu yang tampan ini,"

"Dasar anak muda..."

Eila menggelengkan kepalanya gemas, sudah lama sekali ia hidup bersama cucunya di rumah berjajar. Kedua orang tua Khailid sudah berpisah tanpa alasan yang jelas, mereka sama-sama tidak ingin merawat Khailid kecil saat itu. Eila yang melihat cucunya kerap mendapatkan kebengisan dari orang tuanya pun merasa iba dan terpukul. Ia menawarkan diri untuk mengambil hak asuh Khailid, dan langsung disetujukan oleh Brina dan Tobias.

Dan sekarang cucu tampannya sudah berusia 16 tahun. Khailid tumbuh begitu cepat, bahkan di usia muda, tinggi lelaki itu sudah melewati tinggi dirinya. Entah pertumbuhan cucunya yang begitu cepat, atau tubuh Eila yang menyusut karena semakin renta.

"Nini? Nini melamun?" Kening Khailid berkerut mengkhawatirkan sang nenek yang tiba-tiba saja membisu.

"Ndak. Mari makan! Singkong dan kopi hitamnya sudah dibuat," ajak Eila. Ia menggenggam tangan cucunya begitu erat menuju ruang tamu. Ruangan itu tak begitu luas dan tidak begitu kecil, rumah Eila sangat sederhana. Namun, dikarenakan Eila sering merawat tanaman, tempat itu terlihat lebih asri dan begitu nyaman untuk dijadikan tempat tinggal.

"Bagaimana buku-buku hasil mahakarya mu? Sudah selesai?" Tanya Eila.

"Mungkin beberapa lembar lagi, terkadang saya begitu lelah untuk melanjutkan membuat cerita. Sekarang banyak yang ndak suka literasi, mereka lebih baik mendengarkan radio atau melihat berita di televisi," Khailid mencurahkan isi hatinya, lalu bersandar di buffet kecil.

"Nduk, ndak pa-pa. Selagi itu karyamu, tetap lanjutkan, orang-orang ndak hanya ada di kota ini saja, loh. Masih ada banyak kota-kota bahkan negara-negeri yang ingin membaca ceritamu itu." Tutur lembut dari Eila membuat Khailid merasa lega. Hatinya sedikit gundah karena akhir-akhir ini buku yang ia buat tidak laku.

"Jangan patahkan semangatmu karena satu atau dua orang. Tetap jadi dirimu dan lanjutkan berkarya,"

"Tapi ingat, jika sudah sukses, jangan terlalu meninggikan nama mu dan tengoklah ke arah belakang sesekali. Sadarkan bahwa siapa diri kamu yang sebenarnya dan berasal dari keluarga yang seperti apa."

Semangat Khailid mendadak kembali bangkit. Benar, ia harus kembali melanjutkan mahakarya nya tanpa memandang berapa orang yang membaca buku tulisannya.

"Ni, saya mau melanjutkan mengetik. Laksana sayang nini," pemuda tampan itu mengecup pipi sang nenek sekilas dan tak lupa mengucapkan kalimat kasih. Langkah lebar pemuda itu berjalan menuju kamar miliknya.

Eila yang melihat cucunya tak pernah gentar pun tersenyum. Bangga jika ia sudah berhasil membesarkan anak dari anak perempuannya sampai saat ini. Do'akan, semoga Eila masih mampu melihat cucu lelakinya berdiri tepat di atas altar bersama sang bunga jiwanya.

tbc
•••••

Semenjak libur sekolah, aku jadi stress banget gak ada kerjaan!! Narasi di draft banyak banget tapi gak didebutin😭 isoke kita pub yang ini. Enjoy saja ya!!

Ps ; jangan panggil aku author, thor, min!! Panggil aku kabel~~

1• Pujangga AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang