Part 1✓

11 3 0
                                    

Happy Reading

"Lia! Kemarilah, jangan bermain di sekitar danau!" Teriak seorang wanita yang masih sibuk memanen gandum di ladang, meski matanya sesekali melirik untuk mengawasi putrinya.

"Iya bu, sebentar saja," Balas gadis kecil yang tengah bermain di pinggir danau dengan senyum cerah.

Menuruti ucapan sang Ibu, gadis cilik yang dipanggil Lia itu mulai berjalan menjauhi danau dan berlari mendekati Ibunya.

"Apa ada yang bisa kubantu Bu?" Tanya Lia dengan iris hitam berbinar miliknya.

"Tidak ada, kamu pulang saja kerumah dan makan"

"Baik!"

Dengan patuh Lia setengah berlari pergi meninggalkan ladang, angin sepoi-sepoi pedesaan menerbangkan beberapa helai rambut hitam legamnya yang bersinar dibawah mentari.

Ah, rasanya ada yang terlewat. Aku belum memperkenalkan sosok gadis kecil ini.

Namanya Arrilya. Tidak ada marga dibelakang namanya, karena ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Kedua orang tuanya petani gandum dan tinggal disebuah pedesaan, jauh dari hiruk pikuk kota. Jika kalian bertanya apa yang spesial dari bocah berumur 10 tahun ini, jawabannya tidak ada. Kecuali raut imut nan manis yang selalu ia tunjukkan.

Baiklah, mari kembali ke alur.

Lia, sapaan akrab dari Arrilya, berhenti di depan sebuah rumah kecil, namun terawat dengan banyak tanaman hias di halamannya. Tanpa canggung Lia membuka pintu, dan masuk tanpa dipersilahkan. Tentu saja, karena itu rumahnya.

Di dalam rumah, Lia disambut oleh ayahnya yang sedang memperbaiki kursi di ruang tamu. Sang ayah langsung menoleh padanya begitu ia masuk, menatapnya dengan senyum lembut dan penuh kasih.

"Ayah"

"Ah, Lia. Kamu sudah pulang? Makanlah, ada sup jamur kesukaanmu di meja makan"

"Wahh, senangnya"

Senyum cerah kembali Lia tunjukkan untuk kesekian kalinya, dengan antusias ia berjalan ke arah meja makan. Dan benar saja, sup jamur favoritnya telah tersaji di meja.

Lia memakannya dengan lahap, sang ayah yang memerhatikan putrinya pun tersenyum. Dengan lembut ia mengusap kepala Lia.

"Makanlah yang banyak, tumbuhlah besar menjadi gadis yang baik hati"

Dan,

begitulah Arrilya si gadis biasa menjalani hari-harinya.

Tapi, cerita ini tidak akan seru jika hanya menceritakan tentang hal membosankan itu kan?

Maka dari itu, ayo kita lewati saja bagian membosankannya.

6 tahun kemudian.....

____________________
Tahun ini Arrilya berusia 16 tahun, umur dimana para gadis muda sudah dianggap siap untuk menikah.

Lia tumbuh menjadi gadis muda yang manis. Sikapnya santun dan murah senyum, walau memang sedikit pemalu dibanding teman seusianya.

Saat ini, Lia tengah duduk dibawah pohon oak yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya. Punggungnya menyender pada batang pohon, sedangkan matanya tertutup menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya.

Tak beberapa lama kemudian, seorang pemuda mendekati Lia diam-diam. Lia yang merasakan keberadaan seseorang pun membuka matanya, dan betapa terkejutnya ia saat melihat muka seseorang tepat di depan wajahnya. Dengan reflek Lia menampar wajah pemuda itu.

Namun bukannya marah, pemuda yang ditampar Lia malah tertawa terbahak-bahak.

"Ahahahaha, Lia. Lucu sekai wajah terkejutmu" tawanya keras, membuat Lia menatap pemuda itu dengan raut kesal.

"Jangan mengagetkanku seperti itu lagi, Theo!"

"Haha, baiklah-baiklah. Tidak akan kuulangi"

Penasaran siapa pemuda itu? Namanya Theodore, sapaan akrabnya Theo.

Theo dan Lia adalah sahabat kecil, itulah mengapa mereka sangat dekat. Beberapa orang mengira mereka sepasang kekasih, namun Lia selalu menyangkalnya dan berkata itu sama sekali tidak benar.

Selesai dengan tawanya, Theo memposisikan dirinya duduk di samping Lia. Ditatapnya hamparan gandum di ladang yang mulai menguning di seberang danau, juga burung-burung yang hinggap di dahan pohon dan berkicau, atau ikan-ikan di danau yang melompat ke udara, tak ada yang terlewat.

"Tempat ini benar-benar indah, mau berapa kali pun aku melihatnya" celetuk Theo.

"Benar " jawab Lia, yang bersandar di lengan Theo.

Lia mendongak, menatap wajah pemuda pirang itu dari samping. Sejenak Lia terpesona dengan wajah rupawan keka- eh ralat, teman dekatnya.

Namun tanpa disangka-sangka Theo menoleh, manik birunya menatap Lia dengan lembut. mendapati Lia yang tengah menatapnya juga, ia tersenyum. Rona merah timbul di kedua pipi Lia yang langsung mengalihkan pandangan. Sedangkan sang pelaku, Theo, hanya terkikik geli, berpikir sahabatnya itu sangat manis saat memerah.

The Ordinary GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang