KN.1

2.8K 491 64
                                    


Sorry for typo(s)




Butuh waktu sepuluh bulan untuk Jeffriyan bisa mengurus segala keperluan pindah ke tanah kelahiran. Jabatannya sebagai supervisor di sini cukup memuaskan, tetapi ia juga tidak sanggup untuk egois terhadap sang buah hati. Dua minggu yang lalu, baru lelaki itu membeberkan keputusannya pada keluarga di rumah. Kedua orang tuanya tentu saja menyambut dengan  antusias, tak ada yang lebih membahagiakan bagi mereka selain berkumpul dengan anak dan cucu.


Meskipun penghasilan akan berbeda, tetapi untuk biaya kebutuhan jauh lebih murah daripada di sini. Untuk sementara juga, Jeffriyan menerima tawaran sang ibu untuk tinggal bersama. Setelah memiliki cukup tabungan nanti, kemungkinan ia akan mencari rumah yang cocok untuk kehidupan selanjutnya dengan sang buah hati.

"Terus, barang-barangmu kuwi piye, Le? Nyewo mobil?"

"Inggih, Bu. Wonten rencang kulo ngampili mobil. Namung mbayar bensin."
[Iya, Bu. Ada teman yang minjami mobil. Cuman disuruh bayar bensin aja]

"Lha kok apik eram."
[Kok ya baik banget]


Jeffriyan terkekeh mendengarnya. Memang cukup beruntung memiliki teman yang begitu baik. Kebaikan yang dulu dilakukannya dibalas saat ia membutuhkan. Niatnya dulu, lelaki itu akan menjual barang-barang seperti mesin cuci, kulkas, serta televisi karena biaya menyewa untuk membantu pindahan juga pasti tidak sedikit. Dan, sekarang hanya setengah biaya yang harus dikeluarkan itu sudah bersyukur.


Setelah salat isya tadi, sang ibu meminta untuk video call. Tangan yang bebas tak memegang ponsel itu sedang mengusap surai Jeananda yang sudah pulas, bahkan si kecil masih memakai sarungnya.

"Lha awakmu karo Nanda numpak opo? Bus?"
[Nanti kamu sama Nanda naik apa]

Lelaki itu menggeleng sembari membenarkan posisi bantal sang buah hati.

"Motor, Bu."

"Heh, ngawurmu! Putuku nek masuk angin piye? Ora ora!"
[Heh, sembarangan kamu! Cucuku kalau masuk angin gimana? Enggak! Enggak]


Yang ditegur hanya memasang wajah datar, Jeffriyan juga sudah mengatakan hal yang sama pada si kecil. Namun, anak itu tetap menolak naik bus, mobil atau apapun itu kendaran yang tertutup.


"Nanda yang nggak mau, Bu. Kan bulan kapan itu liburan kantor ke Bali, Allahu akbar teler sepanjang jalan. Aku yang pusing sama takut."


"Ibu sing wedi lho, Mas. Ya Allah bocile Yangti mengko nek kabur kanginan piye?"
[Ibu yang takut, Mas. Ya Allah bocile Yangti, nanti kalau kabur kena angin gimana]


Putra sulungnya justru tertawa sembari merubah posisi menjadi berbaring, lengan yang membawa ponsel itu disandarkan pada guling di mana layarnya menghadap ke arah Jeananda yang terlelap. Wajah sang ibu melunak sembari memekik gemas melihat cucu yang jauh dari pelukan.


Pipi Jeffriyan menempel pada telinga sang buah hati, memeluk seraya memberikan beberapa kecupan sayang di sisi wajah Jeananda.

"Ojo ngunu kuwi to, Mas!" seru ibunya.
[Jangan begitulah, Mas]

Lelaki itu hanya tertawa dan justru semakin mengeratkan pelukan pada si kecil. Lucunya adalah Jeananda yang membalas pelukan sang ayah disusul oleh dengkuran halus.


"Yowis, gek istirahat wae. Ibu ameh ning omahe Iya."
[Yaudah, istirahat aja sana. Ibu mau ke rumahnya Iya]


Nama sang adik yang menarik perhatian Jeffriyan, membawa Jeananda untuk berbaring di atas dadanya sembari duduk bersandar pada dinding. "Enten nopo kok ning omahe cempluk?"
[Kenapa kok mau ke rumahnya cempluk]


Keluarga Numpang [Lokal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang