KN.4

1.7K 300 49
                                    

Sorry for typo(s)




Sudah tiga bulan lamanya, Jeananda dan ayahnya tinggal di kampung halaman. Finansial mereka juga sudah stabil sehingga tidak merepotkan orang tua Jeffriyan untuk pinjam barang di rumah. Meskipun di rumah sendiri, tetap saja lelaki itu sudah memiliki tanggung jawab terhadap buah hatinya. Omong-omong tentang si kecil, anak itu ternyata mudah berbaur dengan suasana di sini. Yah, berkomunikasi dengan Bahasa Jawa mix Indonesia tentu saja.


Kebiasaan tersebut justru membuat si kecil Jamal disukai para tetangga. Setiap sore selalu saja Jeananda dijagongi (diajak mengobrol) mereka.


"Aku yo ndak emoh!"


"Emoh itu yo endak, cah bagus."

Tak lupa pipinya dijawil berkali-kali.




Mereka berkerumun di cafe tiga huruf (HIK) atau bisa disebut wedangan pinggir jalan yang memiliki lampu remang-remang. Tepat di depan rumah keluarga Jamal. Sementara pria itu menikmati kopi hitam sembari menyomot gorengan yang dihidangkan.



"Papi, mau itu!" panggil Jeananda sembari menunjuk pada piring anyaman yang menyuguhkan risoles sosis ada saos bungkus. "Huhah ndak?"



Seulas senyum terukir di bibir Jeffriyan. "Enggak huhah kalau saosnya nggak dipake, Dek," jawabnya sembari membuka bungkusan plastik makanan itu.




Suapan pertama, Jeananda menikmatinya dengan kaki pendek yang diayunkan ke depan belakang sembari kepalanya meneleng kanan kiri. Namun, belum sampai tegukan kopi hitam itu larut ke tenggorokan sudah terasa tabokan pada paha dengan pelaku si buah hati itu sendiri.



"Papi... Meh...." mulutnya terbuka sembari menjulurkan lidah yang mana isian dari risoles itu belum sempurna dikunyah. Tangan Jeffriyan sontak terulur menangkup muntahan sang anak yang mengernyitkan wajah tanda bahwa makanan itu tidak enak. "Hueeek!" pekiknya.



"Woalah, gak doyan bawang bombay paling, Mal!" celetuk salah satu ibu-ibu yang ikut membersihkan mulut Jeananda menggunakan tisu. "Kei ombe to yo, malah plonga-plongo!" [Dikasih minumlah ya, malah plonga-plongo]



Mas-mas wedangan di sana peka sehingga sudah mengulurkan gelas kecil berisi air putih. Jeffriyan menerimanya kemudian dipegang oleh sang putra sendiri, tiga kali tegukan Jeananda menghela napas lega. Tangan pria tersebut juga sudah bersih menggunakan tisu yang ada.




Alis Jeffriyan terangkat melihat anaknya yang mengamati jajanan di depannya sekali lagi.



"Nggak usah aneh-aneh."



Bibir Jeananda maju dengan delikan tajam. Beberapa saat, para ibu sudah berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing karena matahari sudah hampir terbenam. Suara mengaji dari toa masjid juga terdengar.



"Papi, main ke tempat Enda ya!" Jeananda memelas sembari menyandarkan tubuh pada paha sang ayah. Senyum dibuat manis sembari mengerjapkan mata polosnya. Namun, gelengan kepala dari Jeffriyan membuat anak itu merengek dan refleks memukul perut pria yang telah merawatnya selama ini. "Kok geleng-geleng?! Dek Nana mau main!'



"Heleh," ejek beliau sembari membuka cemilan balung kethek di tangannya. "Kamu sama Enda nanti berantem lagi. Dia ngomong jawa kamu haa hee hoo tok nggak paham-paham, emosi dia. Kamu nggak suka dibentak. Ribut. Alah-alah, nggak! Belajar bahasa jawa dulu, baru kamu komunikasi sama Enda."



Lagi, bibir si kecil mengerucut sebal. "Main sekarang!" teriaknya.



Tangan Jeffriyan sigap mengangkat tubuh anaknya untuk duduk di paha. "Jangan teriak-teriak, mau Maghrib ini. Dengerin itu ngaji. Kamu nanti digondol wewe gombel mau?"



Keluarga Numpang [Lokal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang