Bab 1

104 16 0
                                    

Margareth Catherine Isabelle

Namaku Catherine Margareth Isabelle. Aku biasa dipanggil Cath. Tapi itu tak penting. Lagipula, tidak ada yang peduli. Aku pun tak peduli. Lagipula jarang ada orang yang memanggilku.

Namun, untuk menceritakan semua ini, aku harus memperkenalkan diri. Satu hal yang paling aku ingin kalian tahu. Aku masih berumur 16 tahun. Banyak orang yang bertanya banyak hal saat bertemu denganku. Dari banyak pertanyaan, yang paling kubenci adalah pertanyaan 'Kuliah dimana?' 'Kerja di mana?' 'Jurusan apa' Apa aku memang terlihat tua?

Tapi tak masalah, aku tak peduli.

Jadi aku bangun di kamarku. Kamarku sendiri yang baru saja ku dapatkan 1 tahun yang lalu. Akhirnya aku dan saudara kembarku, Cass, tidur di kamar berbeda. Walaupun memang dia masih memaksa menggabungkan kamar kami.

Aku memakai tanktop hitam dengan cropped top putih dan worn out jeans lalu turun ke meja makan.

Mom sedang mengoleskan selai coklat pada rotiku, Cass, dan Pap. Di meja makan sekarang ada Cass, Mom, dan aku. Kurasa Pap tidak ngantor, berarti aku dan Cass akan naik bus sekarang. Berarti satu roti lagi itu untuk Mom.

Untunglah, hari ini Cass tidak memakai yang macam-macam, dia hanya memakai blus hitam panjang dengan kemeja merah jambu dan celana hitam.

"Okay, kuis!" sahut Mom "yang bisa akan dapat sarapan pertama! Baiklah, 3600 bulu Puff!!"

"Ayolah Mom, kami sudah 16 tahun! Setidaknya perlakukan kami seakaan kami sudah 16 tahun" keluhku langsung bertompang dagu.

Seakan tidak setuju dengan pendapatku, Cass langsung berteriak "Selai coklat!!"

"Benar sekali" Mom tersenyum pada Cass lalu memberinya roti. Aku harus menunggu 5 menit sampai Mom memberi rotiku.

"Ayolah Mom, itu terlalu mudah!!" Tawa Cass sambil melahap rotinya. Sebenarnya aku juga sudah tau jawabannya, 3600 itu jumlah detik dalam satu jam. Jam adalah bahasa inggris untuk selai, sementara merah kehitaman itu kalau di campur bisa menghasilkan warna coklat jika dengan takaran yang tepat. Lagipula, Mom memang sedang megang selai coklat. Namun, seperti biasa, Cass mendahuluiku.

"Kapan-kapan aku akan memberi yang sulit deh" kata Mom yang mulai melahap rotinya juga.

"Kalian anak kecil!! Tidak kah kau tahu bahwa teka-teki ini sama sekali tidak berguna??" Bentakku lalu langsung meninggalkan meja makan menuju bus stop menunggu bus sekolah.

Setelah beberapa menit, Cass terlihat mengejar dan berhenti di depanku sambil terengah-engah. Dia sungguh lemah, rumah kami tak begitu jauh dengan bus stop, mengapa dia begitu kelelahan? Tasnya pun terlihat ringan.

"Cath...lo.." katanya di sela-sela dia mengatur napasnya.

"Jangan ngomong. Bus dateng" aku meninggalkannya dan langsung masuk ke dalam bus. Aku duduk di bangku kedua dari belakang dan dia di sisi yang lain.

Ya, aku memang sering begitu di bus. Kalau di sekolah, dia selalu nempel padaku. Sulit untuk menjauhinya.

---

"Hei, Cath" sapa seorang cowok dari arah timur mengarah padaku dan Cass yang ada di sebelahku. Aku tidak membalas sapaannya dan masuh sibuk menyusun lokerku.

Cass, dia tentu membalasnya. "Dia marah, maklumin aja"

Cowok itu adalah Ryan. Kami sudah dekat dengannya sejak kecil. Ryan adalah anak tetangga sebelah, namun dia selalu diantar ke sekolah, karena itu dia tak naik bus bersama Cass dan aku.

Dulu, di kawasan itu, kami tak punya teman dekat. Anak-anak di sana sudah lebih tua dari kami atau jauh lebih muda dari kami. Maka, tiap hari kami hanya bermain berdua.

Namun, kira-kira saat kami berumur 7, ada keluarga yang pindah ke depan rumah kami. Keluarga Keyton. Keluarga kami belum terlalu dekat dengan keluarga itu.

Suatu hari, saat aku dan Cass sedang bermain di halaman depan kami, ada seorang bocah laki-laki yang wajahnya di tutupi kardus yang di cat hitam. Awalnya aku dan Cass tidak menghiraukannya, namun bocah itu semakin mendekat lalu berteriak pada kami.

Aku dan Cass, yang masih berumur 7 tahun, ketakutan saat bocah itu mengejar-ngejar kami setelah meneriaki kami. Saat bocah itu berhenti, kami pun berhenti. Cass berlindung di belakangku dan hampir menangis. Tangisannya juga makin menjadi saat bocah itu membuka kardusnya.

Ya, bocah itu ialah Ryan. Setelah dia membuka kardusnya, dia tersenyum. Harusnya, setelah itu kami semua tertawa dan bermain bersama. Namun karena saat itu kami sudah ketakutan, maka setelah mengetahui bahwa bocah itu manusia tengil, kami malah membalas mengejar dan memukulinya. Dari situlah, aku, Cass, dan Ryan jadi teman dekat.

Kembali ke masa kini, aku sudah meninggalkan Ryan dan Cass yang sedang mengobrol tentang moodku pagi ini. Masuk ke kelasku, kelas 2-C, aku duduk paling ujung bersama teman senasibku, Hee. Cha Hee Jo. Pindahan dari Korea, walaupun wajahnya tak mirip orang sana.

Rambut hitamnya di kepang satu lalu poninya di belah tengah dan di sisi kanan-kirinya di sisakan sedikit rambut yang di biarkan lepas.

"Ergh" katanya sambil mengutak-atik handphonenya.

"Ada apa lagi?" tanyaku karena aku sendiri tau dia sering bilang 'Ergh' saat ada sesuatu.

"Tidak ada apa-apa"

"Oh baguslah--"

"Tom, tau kan, cowok yang gue ceritain kemarin? Dia belum ngehubungin gue sejak kita teleponan sampai jam 12" katanya dan ku tau bahwa ceritanya akan panjang walaupun hanya akan membahas topik yang sama berulang-ulang.

Aku menghentikannya sesuai apa yang kutahu tentang menyelamatkan diri "Oke, bagaimana dengan Pak Hilton? Dia masih nyuruh lo ngambil pelajaran tambahan?"

"Ya dan sekali lagi, gue nolak" katanya meng'ergh' lagi "Kalau lo tau gue, lo juga harusnya tahu kalo lo nanya itu hanya bakal nge... oh tunggu, lo nyoba bikin gue diem yah?"

"Kayaknya Pak Hilton udah gak perlu ngajak lo mengambil pelajaran tambahan, lo kan dah pintar" kataku lalu mengalihkan pandanganku pada 2 orang yang baru memasuki kelas.

Pak Gordon dan Bu Hannah memasuki kelas dan berpisah. Pak Gordon berdiri di depan kelas lalu Bu Hannah di belakang kelas.

Berarti kelas di mulai. Itu juga berarti saatnya aku memulai 8 jam penjara.

---

Sepulang sekolah, aku pergi ke lokerku. Aku nyimpen buku-buku lalu Hee nyamperin aku.

"Lo ikut gue kan hari ini?" tanyanya sambil menungguku selesai.

"Iya"

"Ade lo si Cass ngga ikut kan?"

"Ga"

"Kenapa?"

"Lo mau?"

"Gue sih ngga peduli" katanya lalu mengalihkan pandangannya.

"Yaudah, ngga usah nanya" Aku menutup loker lalu berjalan bersama Hee ke parkiran.

Hee hanya diam. Dia sebenarnya tahu perasaanku terhadap adik kembarku, Cass.

Di sekolah, Cass termasuk cewek idaman. Dia sepertinya menikmatinya. Dia juara kelas, masuk kelas favorit, masuk cheers, kesayangan guru, dan kesayangan Mom.

Aku juga juara kelas. Namun aku tidak secentil Cass. Aku menyembunyikan diriku dalam bayangan hitam. Tak menonjol.

Aku menyembunyikan diri di kerumunan sementara dia lah pusat perhatian. Aku bekerja di belakang layar sementara dia pemeran utamanya.

Namun karena dia, aku juga ikut terkenal. Namun karena itu, lebih banyak orang yang membanding-bandingkan kami berdua.

Aku hanya menjadi bayangannya di mata mereka.

Aku benci itu.

Aku benci dia.

Aku benci.. Cass.

***

MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang