15.

31 6 0
                                    

Yasmin sampai rumah pukul delapan malam setelah pulang dari les terakhirnya pada semester itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yasmin sampai rumah pukul delapan malam setelah pulang dari les terakhirnya pada semester itu. Menarik tote bag-nya dari kursi penumpang, ia lalu keluar dengan tas itu berada di atas kepalanya; menghindarkan diri dari gerimis sisa hujan lebat sore tadi. Awal pekan di bulan April dipenuhi tumpahan hujan meski benar kalau waktu itu bukan musimnya.

Sang puan membuka daun pintu untuk setelahnya ia temui rumahnya sepi seperti biasa. Namun adalah hal berbeda jika lampu yang hidup dan pintu yang tidak terkunci ia dapati tanpa sapaan dari Haedar.

Ia lalu masuk dan menutup pintu, memeriksa ruang tengah sampai dapur untuk mencari keberadaan kakaknya hingga ia sadari Haedar tidak ada di seluruh ruang di lantai satu. Dengan itu ia menaiki tangga, membuka pintu kamar kakaknya tanpa mengetuk terlebih dahulu —Haedar akan marah kalau ia ada tapi nyatanya kamar itu pula sepi. Dan satu-satunya tanda kehidupan yang ia temukan adalah suara musik yang samar terdengar dari balkon lantai dua.

"Bang?" Panggil Yasmin ragu.

Gadis itu membuka pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan balkon, merasakan udara dingin dan asap rokok menghembus tepat setelahnya, lalu malah presensi Nale yang ia temui.

"Loh?" Nale yang sedang duduk di sofa balkon dengan tangan memegang kamera itu menghadap ke arahnya. Mengambil rokok dari apitan bibir lalu mengusakkannya pada asbak segera setelah ia ketahui kepulan asapnya mengenai Yasmin.

"Hey."

"Hai," Yasmin menjawab sapa. "Haedar mana, kak?"

"Nganter ceweknya pulang abis organisasi. Gue ditinggalin di sini." Jawab Nale lalu matanya kembali fokus pada kamera dalam genggaman. Sedang Yasmin menyusul duduk di sisinya kemudian. Memandangi Nale lalu gerimis yang mulai mereda tanpa mengatakan apa-apa.

Nale melirik sedikit ke arahnya. "Nggak mau masuk? Di sini dingin."

"Nanti, deh. Males mau mandi." Sahutnya. "Kakak lagi ngapain?"

"Nyetting dikit."

Ckrik. Lalu Yasmin jadi objek percobaannya.

"Jangan sembarangan ngefoto orang, kak."

"Cuma nyoba." Cuma nyoba, tapi bukannya segera dihapus malah berniat disalin ke komputernya setelah pulang nanti.

Yasmin melengos, tapi lima detik kemudian sudah bertanya tentang hal lain lagi seperti, "Kakak masih kerja jadi fotografer?"

Nale mengangguk. Semejak menyandang status sebagai maba, Nale memang bekerja part time sebagai fotografer. Dengan tim yang berisi beberapa anak dari berbagai fakultas di Universitasnya, mulanya grup itu adalah serupa unit kegiatan mahasiswa. Sebelum kemudian salah satu dari mereka mengusulkan ide untuk merangkap sebagai penyedia jasa pemotretan. Merekrut orang-orang yang kiranya sudah mumpuni dalam bidang itu dan Nale masuk sebagai salah satu. Cukup berkembang dan dengan itu mereka bisa membeli petak sebagai studio pribadi dari hasil mereka sendiri. Bagi lelaki itu cukup menyenangkan untuk menambah pengalaman juga mengisi luang, lagi ia begitu mencintai fotografi seperti ia menyukai musik, kopi, dan, "Yasmin." Namanya menggelinding mudah dari bilah Nale tanpa lelaki itu sadari.

The Cut That Always Bleeds • Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang