Kini jam pulang sekolah pun tiba. Seperti biasa, Esih akan berjalan kaki menempuh perjalanan jauh untuk pulang kerumahnya.
Dulu saat Esih masih SD, Esih merasa baik baik saja alias tidak capek, karena letak sekolah SD lumayan dekat dengan rumah Esih. Kemudian, waktu MTs, Esih sempat berfikir, ingin sekali rasanya memindahkan rumah dekat sekolah atau memindahkan sekolah dekat rumah. Dan akhirnya, pikiran itu tidak hilang sampai sekarang.
Capek sekali rasanya berjalan kaki sepanjang jalan, sendiri pula. Dulu ada teman sekampung Esih yang sekolah bareng. Tapi sekarang tidak ada.
Ya sudah, mau bagaimana lagi? Terima nasib saja.
Pernah, ada seseorang berkata pada Esih, begini katanya "gak papa berangkat sekolah jauh juga. Justru, dengan jauhnya lah, kita mendapat banyak pahala. Coba kalo yang deket, misal satu langkah satu pahala. Kalo orang rumahnya yang beberapa langkah, berarti beberapa pahala. Nah, kalo yang jauh? Ya pasti banyak. Apalagi kalo di barengi dzikir di setiap langkah. Di jamin berkah, kita menuntut ilmu".
Kalo tidak salah, ucapan itu terlontar beberapa tahun lalu saat Esih masih duduk.di bangku MTs, dulu. Namun sekarang, orang itu sudah tidak ada. Entah kemana perginya. Namun kata katanya tetap ada di memori otak Esih.
Merasa bosan, Esih mulai mengambil dan membuka HP-nya. Siapa tau ada notifikasi penting. Pikirnya.
Namun, alih alih notifikasi penting, malah pesan dari layanan internet yang muncul. Seperti 'pulsa anda tersisa 6 perak' atau sebaris kata 'dapatkan gratisan kuota internet' dan semacamnya dari operator.Muncul dalam benak Esih untuk menghubungi Thia. Rasanya, ia ingin sedikit bercerita tentang dirinya.
Panggilan tersambung, tidak lama kemudian sang empu yang di tuju mengangkat telpon dari Esih.
"Halo, Thia" sapa Esih. Sebagaimana awal menyapa jika menelpon.
"Yo! Kenapa? Ada apa?" Sahut Thia di seberang sana.
"Udah pulang sekolah?"
"Iya, ini udah, lagi di jalan" katanya.
"Mau cerita, tapi gak enak kalo lagi jalan"
"Jangan di jalan! Tengah jalan aja, gimana?" Tawarnya.
"Mati dong, ketabrak"
"Ya enggak gitu konsepnya, Munaroh"
Esih tergelak, kemudian ia menyetujui tawaran Thia untuk bertemu di tengah jalan. Lalu mematikan sambungan telpon setelahnya.
Jika bisa, Esih ingin sekali seperti burung burung itu yang terbang tinggi di atas sana. Mengepakkan sayapnya dengan leluasa, kemudian pergi ke alam bebas yang luas.
Jika seperti itu, Esih tidak akan memikirkan jalanan yang becek setiap hujan turun. Tapi, jika Esih terbang, mungkin Esih tidak akan memikirkan jalanan yang becek. Tapi bisa jadi Esih memikirkan bagaimana jika kita terbawa angin? Karena anginnya terlalu kencang, mungkin. Atau bagaimana kalau kita terkena petir jika hujan badai datang?.
Ah, mungkin itulah kendala dalam setiap ruang dan waktu. Semuanya tidak akan berjalan mulus seperti jalan tol. Pasti ada hambatan dan tantangan. Dan lagi lagi, hal itu mengingatkan Esih pada kata kata seseorang.
"Manusia diciptakan bukan untuk menghindari badai yang ia lewati namun badai diciptakan untuk menghadangi manusia supaya bisa manusia itu lewati.
Namun, bukan berarti badai itu hanya akan lewat saja tapi badai itu akan terus menghantam seakan akan dia ingin melenyapkan sudah reda badai yang lalu maka akan ada badai selanjutnya sampai kamu tiada. Jika badai itu membuatmu tiada berarti kamu kalah, namun jika kamu tiada maka badainya pun tiada dan bisa kamu hadang maka itulah hasil yg memuaskan. seperti itulah hidup sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bestari [ON GOING]
Sonstiges"Tidak ada sebuah ending untuk sebuah buku yang mengisahkan seseorang yang masih hidup. Melainkan sebuah kelanjutan perjalanan yang sedang dia jalani"