2# Hanya Menyesuaikan

1 2 0
                                    


Song recomendation = windflower by Lee sun hee

°°°°°°°°°°°°°

Suwarban bersaudara, tentu satu kampung sudah mengetahui kelakuan kelakuan anak anak dari pak Suwarban. Terutama Esih. Esih, sekalinya udah bicara, beuh ngalahin suara kicauan burung. Jika dilihat lihat, Gadis itu bahkan seperti tidak pernah menangis di sepanjang hidupnya.

Jika udah ketawa, bisa nular sampe ke orang lain yang cuma lihat dia ketawa, saking renyah nya dia tertawa. Perkara hal sepele seperti si bontot Uki di kejar bebek di halaman rumah Abah pekan lalu yang berakhir nangkring di selokan, pun bisa di tertawa kan sehari semalam oleh Esih. Sereceh itulah seorang Kesih.

Seorang Kesih Bestari itu kelas XI otw XII di sekolah swasta islamiah. Tentu saja Esih lumayan terkenal, karena kelakuannya yang agak sengklek. Tapi meskipun begitu, Esih ini selalu mengerjakan tugas dengan baik, ya walaupun telat.

Walaupun sekolah di basis madrasah, tapi Esih tidak sepenuhnya belajar agama. Memang, kebanyakan materi agama, mau itu di lingkungan sekolah, atau pun di luar sekolah. Tapi bukan Esih namanya jika setiap pengajian tidak tidur. Setiap pelajaran Keagamaan, atau setiap kata kata petuah dari guru, Esih tidak pernah mendengarkannya sampai selesai. Kalau dia tidak tidur, ya paling menggambar, entah itu gambar alam dengan orang orang sawah, atau menggambar keadaan laut yang sedang pasang. Rasanya, jika Esih sedang menggambar pasti selalu di hayati. Meskipun begitu, tapi tetap hasilnya jelek.

Meskipun suka menggambar, tapi cita cita Esih bukan menjadi seorang pelukis atau Designer. Melainkan jadi Dosen Sejarah.

Jangan salah, sengklek sengklek begini juga, Esih punya cita cita yang rasanya susah untuk di gapai. Tapi, bukan hanya menjadi Dosen, Tetapi jadi Da'i, atau pendakwah juga. Namun belum juga melangkah, nyali Esih sudah menciut saat ia ingin menjadi pendakwah, tapi ia tidak mempunyai paham agama yang kuat seperti bapak.

"Cita cita itu tidak harus satu, biarkanlah kita mempunyai cita cita seribu banyaknya. Tapi, alangkah baiknya, kita memantapkan hati kita untuk satu tujuan. Tapi jika memang itu bukan yang terbaik untuk kita, maka kita bisa merubah jalannya, jika tetap tidak bisa. Maka jawabannya kita masih punya sembilan ratus sembilan puluh sembilan cita cita yang akan menjadi tujuan selanjutnya".

Kala itu, meskipun mata Esih sangat berat dan kepala pun sudah puyeng, tapi tetap ia sempatkan untuk mendengarkan kata kata dari gurunya.

Memang, sebelum ke intinya, harus awalnya dulu. Seperti cita cita Esih yang ingin menjadi Da'i. Meskipun Esih tidak sebegitu pahamnya akan agama, bukankah ia bisa belajar lagi?.

Karena tidak ada kata terlambat untuk mengejar mimpi dan menuntut ilmu.

Bisa saja Esih belajar lagi, tapi kala itu ia benar benar di patahkan oleh keadaan. Dimana saat itu juga, Esih memutuskan cita cita itu. Bukan karena ia menjadi seorang pecundang yang kalah sebelum berperang, tapi memang realita nya seperti itu.

Di suatu sore yang cerah, di temani semilir angin yang mampu menerbang nerbangkan jemuran basah milik Mama yang baru di jemur, meskipun Pelan. Obrolan hangat menyapa kala itu, bapak yang sedang mencangkul kebun di pinggir rumah, yang katanya akan di tanami  buncis. Tidak lupa di temani si Uki yang katanya sedang mencari cacing.

Lalu, Esih dan Mama duduk di pinggir kebun dengan kursi yang terbuat dari kayu seadanya. Jika bertanya di mana si Umna, maka jawabannya adalah tidur. Sudah menjadi rutinitas Umna jika sekitar jam 15:30 maka bocah itu akan terjun ke alam mimpi.
Sementara teh Wati dan si Radi, ya di pesantren.

Awalnya perbincangan biasa, tentang tetangga yang kehilangan ayamnya Minggu lalu. Namun, bukankah sebuah obrolan itu selalu merambat?.
Sampai sampai kami membicarakan tentang sekolah Esih.

 Bestari [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang