Bi Suti mengetuk pintu kamar Aqila beberapa kali. Gadis berambut cokelat gelap itu tidak keluar dari kamar sejak pulang kantor, mungkin tertidur. Sementara sekarang sudah pukul delapan malam. Utari telah menyuruhnya untuk memanggil Aqila untuk makan malam.
"Non, makan malam dulu, Non. Udah ditunggu Bapak sama Ibu di bawah," ujarnya dengan suara agak dikeraskan.
Bi Suti kembali mengetuk pintu saat tak mendengar jawaban. Lalu, karena takut nona majikannya kenapa-kenapa, dia akhirnya membuka pintu dan menerobos masuk.
Di atas ranjang, dia melihat Aqila masih tertidur pulas. Bajunya bahkan belum diganti, masih mengenakan baju kantor. Make up di wajahnya juga belum dihapus. Sepertinya Aqila langsung tidur tanpa mandi terlebih dahulu.
"Non, udah malem." Bi Suti mengguncang bahu Aqila pelan.
Tak ada respon selain gumaman lirih dari bibir tipis merah muda milik Aqila. Gadis itu pasti sangat kelelahan.
Kembali diguncangnya bahu Aqila, kali ini lebih keras.
"Eugh ... kenapa, Bi?" Gadis itu mengerjapkan mata.
"Udah malem, Non. Mandi, ganti baju, abis itu makan malem. Ditunggu Bapak sama Ibu di bawah."
Aqila melirik jam di atas nakas. Benar saja, pukul delapan malam. Cahaya di luar jendela juga bukan lagi berasal dari matahari, melainkan dari lampu taman di samping rumah.
Bergegas dia bangkit dari tempat tidurnya, menyambar handuk, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk yang melilit tubuh.
Setelah mengenakan pakaian santai, Aqila bergegas turun ke lantai bawah, menuju ruang makan di mana orang tuanya telah menanti sedari tadi.
"Baru bangun?" tanya Utari saat melihat anak gadisnya menuruni tangga.
Aqila hanya mengangguk sambil memamerkan deretan giginya. Setibanya di meja makan, dia segera mengambil duduk di hadapan sang mama.
Tumis ayam mentega yang masih mengepulkan uap panas tersaji di meja. Harumnya menggoda penciuman Aqila dan membuat perutnya seketika merasa lapar.
Segera dia isi piring di hadapannya dengan dengan nasi panas, lalu menyendok tumis ayam mentega yang menjadi menu favoritnya itu dan menaruhnya di atas nasi. Suara alat makan yang berdenting mendominasi ruangan kala mereka sibuk menikmati makan malam.
"Qi, minggu depan kita ada makan malem sama keluarganya Om Ghifari, ya? Sekalian kamu kenalan sama Gavin." Giri berkata di sela-sela kegiatannya menyantap makanannya.
Seketika Aqila terbatuk. Dia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit akibat tersedak ayam. Utari dengan sigap mengambilkan segelas air putih dan memberikannya kepada putrinya.
"Pelan-pelan, dong, Sayang." Ditepuk-tepuknya punggung sang putri supaya batuknya reda.
Aqila menenggak air putih pemberian mamanya hingga tandas, lalu meletakkan gelas yang telah kosong itu di meja dengan keras.
"Ya abisnya Papa, lagi enak-enak makan tiba-tiba bahas itu," jawabnya kesal sambil mengusap bibir yang basah. "Kan Qila udah bilang kalo Qila nggak mau nikah sekarang. Apalagi sama si Gavin Gavin itu."
"Kan cuma makan malem aja, Sayang. Biar kamu kenal dulu sama Gavin. Siapa tau nanti kalo udah ngobrol kalian ngerasa cocok." Utari mencoba membujuk putri semata wayangnya yang keras kepala itu.
"Enggak. Qila nggak mau ketemu dia. Qila nggak mau nikah sama dia. Pokoknya nggak mau!"
Gadis berusia awal dua puluhan itu segera bangkit dari duduk dan berlari ke kamar, meninggalkan makanannya yang masih tersisa setengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bodyguard Ganteng Jodohku
RomanceAqila Kaira Khanza merasa kesal dengan permintaan ayahnya yang menginginkan dia menikah di usianya yang baru 22 tahun. Astaga, dia bahkan baru lulus kuliah tahun lalu! Dia juga tidak tahu siapa laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu. Dia hanya...