Malam itu, lorong rumah sakit nampak sepi. Seorang gadis berjalan tergesa menelusuri lorong temaram yang seakan tak berujung itu sambil terisak-isak. Bahunya berguncang, hidung memerah, juga matanya yang bengkak karena air mata terus saja tumpah bak air bah. Beberapa helai anak rambut menempel di pipi dan dagunya yang basah.
Di ujung lorong itu terdapat pintu kaca dari sebuah ruangan yang hendak dia tuju, ruangan tempat papanya dirawat, ruang ICU. Air matanya mengalir semakin deras kala melihat wajah wanita yang baru saja bangkit dari duduknya.
"Mama ...." Gadis itu berlari menghampiri wanita yang dia panggil mama. Kedua lengannya segera merengkuh tubuh yang sama terisaknya sepertinya.
"Gimana papa?" tanyanya sambil mengurai pelukan.
Utari—wanita yang dipanggilnya mama tadi mengusap pipinya sesaat sebelum menjawab, "Dokter baru aja keluar, Sayang. Katanya papa udah baik-baik aja. Papa udah berhasil melewati masa kritisnya."
Gadis itu mengembuskan napas lega. "Syukurlah."
Pintu terbuka. Seorang perawat keluar dari ruang ICU sambil membawa seperangkat peralatan medis.
"Pasien akan dipindah ke ruang perawatan untuk observasi. Setelah itu, baru bisa dijenguk." Perawat tadi berucap sebelum melangkah pergi.
Tak lama, beberapa petugas membawa keluar brankar tempat papanya terbaring lemah dan mendorongnya menuju ruang rawat inap.
Kamar perawatan itu berukuran besar bernuansa serba putih, dilengkapi dengan peralatan medis canggih, juga fasilitas penunjang lainnya seperti sofa untuk pendamping pasien, toilet, kulkas, bahkan televisi yang tergantung di dinding.
Suara pendingin ruangan yang menderu mengisi keheningan kamar, bergantian dengan suara pengharum ruangan yang sesekali menyemprotkan parfum beraroma lavender. Sedangkan para penghuni kamar duduk diam, tak bersuara, bahkan tak bergerak sedikit pun. Mereka terpekur dalam pikiran masing-masing.
Hingga setelah beberapa puluh menit, pria yang terbaring di atas brankar akhirnya membuka mata.
"Papa udah sadar?" tanya gadis itu yang sedari tadi duduk di kursi samping brankar.
Lelaki paruh baya itu hanya mengangguk lemah. Sudut bibirnya tertarik dengan sangat perlahan membentuk senyum kecil yang dipaksakan. Selang oksigen yang terpasang di hidung semakin membuatnya kesusahan memperlebar senyum.
"Aqila ...," panggil sang papa lirih, hampir berbisik.
Aqila meraih tangan papanya yang terpasang infus, lalu menciuminya. "Ya, Aqila di sini, Pa. Aqila sama mama selalu nemenin Papa di sini."
"Sayang, Papa takut umur Papa nggak lama lagi. Papa ingin melihat kamu menikah, Nak."
Kedua netra Aqila seketika membulat mendengar permintaan tiba-tiba papanya. "Apa?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bodyguard Ganteng Jodohku
RomansaAqila Kaira Khanza merasa kesal dengan permintaan ayahnya yang menginginkan dia menikah di usianya yang baru 22 tahun. Astaga, dia bahkan baru lulus kuliah tahun lalu! Dia juga tidak tahu siapa laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu. Dia hanya...