Happy reading
*
*
*Evan melangkah cepat mendahului Rion. Langkahnya terhenti di depan sebuah pohon besar. Tanpa aba-aba ia menaiki pohon tersebut, melompat dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Di sisi lain, suara kepakan terdengar, Evan menoleh mendapati Rion di atasnya.
Apa perlu aku secemas ini? Rion menyentuh dadanya.
Cukup lama hingga mereka sampai di tempat tujuan. Hutan yang belum pernah mereka sentuh saat ini ada di depan mereka. Bahkan Evan dan Rion akan memijakkan kaki mereka memasuki hutan tersebut hanya untuk tiga manusia yang sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka.
Perasaan yang terasa bukan kasihan atau semacamnya. Bukan pula karena kekhawatiran dari yang lain. Semuanya murni atas kemauan mereka, keinginan, rasa ... tanggung jawab. Entah, keduanya juga tidak mengerti.
Evan dan Rion melirik satu sama lain, kemudian mengangguk mantap. Keduanya mulai melangkah memasuki hutan. Baru memasuki hutan itu saja mereka sudah disuguhkan dengan pemandangan di mana tulang-belulang berserakan di mana-mana.
Evan mendongak, alis mengerut melihat matahari yang bagai bulan. Benar-benar berbeda.
Tentu nama Hutan Mati bukan sembarang nama yang diberikan tanpa sebab. Konon katanya, hutan tersebut diberi nama Hutan Mati bukan hanya karena itu kawasan para Iblis, tapi juga makhluk menyeramkan lainnya. Bahkan hanya dengan mendengar nama hutannya saja sudah membuat siapapun mengerti jika itu sangatlah berbahaya.
Namun, tidak dapat dipungkiri, banyak yang memaksa masuk ke dalam hutan hanya untuk keuntungan pribadi. Seperti membuat perjanjian dengan iblis ataupun hanya untuk membuat diri mereka menjadi kaya raya. Mereka hanya bisa masuk, tapi untuk kembali? Jangan harap. Mereka tidak akan bisa kembali. Hutan itu adalah Hutan Mati, masuk berarti untuk mati!
"Di belakangmu!" Rion menggunakan api miliknya untuk menyerang Monster di belakang Evan.
Evan menendang batu, menyingkirkan satu Monster yang tersisa. "Setelah ini aku yakin yang lainnya juga akan ikut menyerang."
Para Monster pemangsa tiba-tiba keluar dengan cepat dari persembunyian mereka, menuju pada Evan dan Rion. Sedangkan keduanya segera mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
Evan mengeluarkan pedangnya. "Baiklah. Kurasa ini tidak akan sulit."
Keduanya menyeringai satu sama lain. Menghadapi para Monster itu adalah hal yang mudah untuk mereka.
"Kita harus cepat." Aliran energi sihir mengelilingi pedang Rion. Dan hanya dengan sekali tebas, banyak Monster mati dengan tubuh mengenaskan.
Jumlah para monster semakin menipis. Evan dan Rion memang bukan lawan yang tepat untuk mereka. Meskipun begitu, tidak ada niat mereka para monster untuk mundur sedikitpun.
"Menyusahkan." Rion menghilangkan pedagangnya.
"Sebaiknya kita segera pergi." Evan juga ikut menghilangkan pedagangnya, lalu dengan cepat masuk lebih dalam menyelusuri hutan diikuti oleh Rion yang kembali memunculkan sayapnya.
Sepanjang perjalanan yang mereka lihat hanyalah jejeran tulang-belulang yang berserakan di mana-mana. Entah itu tulang manusia ataupun tulang hewan, tapi yang pasti tulang-belulang itu adalah tulang sisa makanan mereka para penghuni hutan.
Baru Monster yang mereka hadapi, entah hal-hal apa lagi yang akan mereka temui. Keduanya menambah kecepatan mereka untuk bergerak lebih cepat memasuki hutan. Jujur, pikiran keduanya berkecamuk.
Tidak. Bukan karena takut dengan suatu kemungkinan yang akan mereka hadapi. Sama sekali tidak. Tapi, keduanya hanya memikirkan ketiga wanita itu. Aneh memang, tapi sungguh mereka mengkhawatirkan para wanita itu. Rion dan Evan yakin, ketiga wanita tersebut tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY OF THREE GIRLS
FantasyTAHAP REVISI Fey, Chelsa, Felicia, ketiganya hanya akan mencoba sebuah mitos yang beredar tentang gerhana. Hanya akan, mereka tidak jadi melakukannya. Namun, anehnya tanpa melakukan apa pun, gerbang itu terbuka. Seolah ... menanti mereka. ...