039

8.4K 511 162
                                    

"Dedeknya jangan badmood terus. Kasian Mamanya jadi uring-uringan."
-
-
-

Jevin berjongkok di depan istrinya. Sengaja menyediakan punggung untuk ditunggangi Yara setelah alas kaki warna pink rusak. "Naik."

"Nggak!" Si istri masih kukuh. Ia menendang sandal yang sudah cacat itu ke samping. Tanda marah setelah Jevin sempat menertawai.

"Nggak usah ngeyel."

"Ngga mau, Kak. Lo jelek banget. Gue benci!" Menyebutkan alasan yang menjadikannya marah dengan suami sore ini.

"Bukan jeleknya, kaki lo entar lecet! Lagian kalo gue gendong justru lo ngga usah liat penampilan gue."

"Justru bikin gue tambah malu. Lo jelek banget Kak pake baju kayak gitu. Gue jijik!" Kalimat frontal yang menyinggung. Jevin menipiskan bibir nggak ingin tambah bertengkar. Ia hanya melanjutkan dengan paksaan, "cepetan naik. Gue hitung sampe tiga lo udah harus-"

Yara memeluk leher suami dari belakang, memasrahkan bobot tubuhnya ditumpu Jevin. Lelaki itu menegak dan mulai berjalan menyusuri paving di jalanan untuk kembali ke menara dimana keluarga ada. Bersama Yara yang di punggungnya.

"Kita ngga pernah pergi berdua ya, Kak." Yara memulai obrolan setelah sekian menit keduanya bungkam.

"Iya. Kita nggak pernah jalan berdua." Karena sejak dulu Jevin selalu mementingkan perasaan sendiri.

Keramaian seolah menghilang tergantikan kesunyian untuk obrolan berdua. Momen romantis bagi pasangan ini untuk bicara.

"Tadi kenapa mukul si sumo sih, Kak?" Yara bertanya dengan dagu yang ia tumpu ke pundak lebar suami.

"Gue nggak suka lo di dorong."

Si perempuan menipiskan bibir untuk menahan senyum, namun kemudian kedua tangan yang bertaut di leher saling meremas. Kalimat lain tiba-tiba terlintas, "Karena ada dedeknya ya?"

"Iya. Gue takut dedeknya kenapa-napa."

Yara tertawa pahit. Semua tentangnya tidak akan dilihat si lelaki. Meskipun paling tidak, Jevin yang sekarang mau mengakui si jabang bayi.

"Udah gue duga sih."

"Kenapa?"

"Karena ada dedeknya."

Yara jarang membawa urusan bayi apalagi menyebut anak di rahimnya. Maka, Jevin yang curiga jadi bertanya "perut lo sakit? Bagian mana? Tahan ya, Ra. Kita ke rumah sakit aja-"

Ia curiga si istri menyembunyikan rasa sakitnya hanya untuk terlihat baik-baik saja.

"Enggak kok."

"Yang bener?"

"Iya. Perut gue nggak sakit. Dedeknya nggak kenapa-napa. Tapi gue marah." Kemudian, Yara menggigit leher suaminya hingga mengaduh. Lelaki itu tersentak karena istrinya yang nakal.

Bahkan Yara hampir jatuh akibat Jevin yang terkejut. "Ra! NGGAK LUCU!"

"Gue nggak ketawa."

"Maksud gue kalo lo jatoh gimana karena gue oleng? Hah? Kalo mau bercanda liat situasi dong!"

"Biasa aja dong, kak."

Jevin mendengus. Tidak seperti dulu. Yara yang sekarang mudah marah, sulit diatur dan banyak melawan. Tukang maksa dan pendendam.

Lelaki berkaos itu lanjutkan untuk melangkah di bawah lampu jalanan pada trotoar. Melewati beberapa orang yang duduk di pinggiran jalan sepanjang jalan menara dan jembatan pelangi masih bersama istri dalam gendongan.

START TO FINISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang