Karin, sejak kecil ia sudah ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Karin kini tinggal bersama Tantenya yang merupakan single parents. Masa kecilnya ia habisnya untuk merenung dan hanya diam saja di kamarnya, bermain boneka atau menari-nari ketika tantenya menyalakan lagu kesukaannya. Kini ia berusia 16 tahun, sudah menginjak kelas 11 SMA, rambutnya sebahu dan perponi.
Hari ini adalah hari pertama Karin masuk sekolah lagi setelah libur panjang kemarin, kini sudah tidak ada lagi belajar jarak jauh karna pandemi sudah usai. Karin sekelas dengan temannya yang kebetulan memang sudah akrab sejak SMP.
"Albar!"
Laki-laki yang bernama Albar itu berhenti seketika.
"Apa?"
"Makanannya udah abis? Kalau gak enak bilang ya, suratnya udah dibaca? Gimana jadinya?"
Albar adalah laki-laki yang Karin dekati sejak pertama kali masuk sekolah, namun sampai saat ini Karin sama sekali belum mendapatkan Albar.
"Udah gue bilang, gue gak suka makanan dari lo, gue ga suka surat-surat alay dari lo dan gue gak suka sama lo."
Karin mengerutkan keningnya, "Kenapa?"
Albar menghembuskan nafasnya kasar.
"Ada banyak alasan untuk gue gak suka sama lo!""Nih!" Albar menyarahkan kantung kresek yang berisi Tupperware milik Karin.
Karin membukanya, namun surat yang Karin selipkan tidak ada.
"Suratnya kok gak ada?"
Albar langsung menjawab, "Udah gue buang."
Karin mengerucutkan bibirnya sebal, namun tak lama ia melihat ada kertas disaku baju milik Albar, ia langsung merebutnya paksa.
"Eh!"
Karin membukanya, tak lama bibirnya terangkat sempurna. Albar langsung merebut kertas itu kembali.
"Alay tapi ko disimpen."
"Al kalau suka suratnya gapapa kok, gengsi banget." goda Karin sambil menyenggol lengan Albar.
"Apaansih lo, ini surat mau gue buang kali. Gak usah kepedean."
Setelah merebut kertasnya Albar pergi meninggalkan Karin tanpa berbicara apapun. Karin langsung masuk kedalam kelasnya.
"Gimana Rin?"
"Ada yang aneh sama Albar akhir-akhir ini, dia lebih kaku dari sebelumnya ketika ketemu sama aku Sya, terus tadi surat yang aku tulis Albar simpen di sakunya." ujar Karin.
"Kalau Albar baper gimana Rin?"
"Aku juga bingung Sya, tapi kalau Albar suka balik terus ketauan niat aku yang sebenarnya gimana Sya?"
"Aku terlalu jahat buat Albar, aku deketin Albar karna dia mirip sama orang yang selama ini pengen aku milikin."
Syanaz merangkul Karin, "Dicoba dulu Rin, siapa tau memang Albar buat kamu, bukan Akbar."
___________________
__________Waktu Karin masih menginjak kelas SMP, kelas tiga, bumi memang sedang tidak baik-baik saja. Keadaan menjadi sangat mencekam dan menakutkan. Sekolah ditutup sementara dan belajar melalui jarak jauh, pada saat itu Karin terpaksa harus mendownload aplikasi telegram karena ada salah satu pelajaran belajar lewat aplikasi tersebut. Salah satu teman SMP-nya menawari Karin untuk mencari teman lewat aplikasi tersebut.
Dan sekarang, sekarang Karin masih terjebak dengan virtual relationship. Entah sampai kapan, biarkan saja.
Malam ini, ia sudah sibuk dengan ponselnya. Berharap ada keajaiban datang dengan cara sederhana.
Tring tring tring...
Suara notifikasi yang sangat amat Karin kenal, notifikasi yang ia bedakan dari semua yang ada di kontak WhatsApp nya. Bahkan Karin langsung membuka ponselnya sebelum hitungan ke tiga.
Entahlah, bahkan seseorang yang jauh bisa menghadirkan bulan sabit dibibir Karin.
Tak lama setelah senyumnya merekah, Karin menerima telfon dari seseorang. Wajahnya tiba-tiba memerah, tangannya pun bergetar. Ia bisa menjadi gila hanya karna satu pesan yang entah isinya apa.
"Halo," Karin sepertinya memulai percakapan lebih dulu.
"Apa cedong," suara itu, suara yang mampu membuat jantung Karin tak menentu, badannya panas dingin dan bulan sabit itupun belum pudar sama sekali dibibirnya. Selalu ia tunjukkan bahwa ia memang sedang senang.
"Kenapa nelfon?"
"Cedong aku besok mau ke Bandung sama kelurgaku, kalau Bandungnya gak jauh dari rumah kamu. Kita ketemu ya, nanti beli susu rasa coklat sama susu jahe, aku yang terakhir deh."
"Serius?!"
"Iya."
Sejak tadi perasaan Karin benar-benar sudah tidak bisa dikondisikan lagi, jantungnya berdebar-debar ia tidak pernah merasakan senang itu.
Setelah sekian lama, penantian yang ingin Karin abadikan akhirnya seratus persen akan terwujud dalam waktu secepat ini. Setelah satu tahun ia menyayangi laki-laki itu hanya lewat layar kaca saja. Kini mungkin dalam waktu yang singkat ia bisa bertemu.
Karin mengiyakan semuanya, air matanya mengalir deras. Karin tidak pernah menyayangi laki-laki sedalam ini. Akbar, Akbar adalah laki-laki yang menyembuhkan Karin disaat ia sedang berada di titik akhir. Karin sudah menganggap Akbar sebagai rumahnya, walau belum pernah ia temui sebelumnya.