Chapter III: Berantem

2.2K 190 1
                                    


Siapa bilang pengantin baru selalu dipenuhi dengan yang manis-manis? Ya, mungkin beberapa pasangan melewati masa-masa awal menikah dengan mulus dan manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siapa bilang pengantin baru selalu dipenuhi dengan yang manis-manis? Ya, mungkin beberapa pasangan melewati masa-masa awal menikah dengan mulus dan manis. 

Tapi tidak dengan hubunganku dan Dewa. Karena perbedaan sifat yang cukup mencolok, terkadang kami berdua salah paham, dan menimbulkan gesekan yang memicu pertengkaran.

Dewangga tipikal yang kalem, diam, terkesan cuek padahal selalu memperhatikan dan mengingat hal-hal kecil. 

Sementara aku sedikit heboh, berisik dan selalu memperlihatkan afeksiku pada Dewangga secara terang-terangan. 

Kami juga hanya pacaran 1 tahunan, jadi belum terlalu mendalami kebiasaan dan sifat masing-masing.

"Kamu udah aku bilangin berapa kali sih Ay, kalau keluar pintu kamar ditutup."

Dewangga mengomel saat aku keluar masuk kamar, tanpa menutup pintunya dengan benar. Dewa sangat resik dengan urusan hal-hal yang berbau privasi. 

Ia paling tidak suka kalau pintu kamar terbuka, terutama saat ia sedang ada di dalam. Sementara aku, selama kita tidak melakukan hal-hal intim atau tidak ada orang yang bertamu, tidak masalah membuka pintu sesekali. Anggap saja sebagai sirkulasi udara.

"Apa sih A, gitu aja marah."

"Ya kamu dikasih tahu kok gak inget-inget." Wajahnya terlihat kesal, membuat aku juga ikutan kesal karena menganggap ini hal sepele.

"Iya-iya, maaf. Nanti aku gembok aja sekalian."

"Tuh, dikasih tahu malah nyindir. Gimana sih kamu."

"Dih... Aa kenapa sih marah-marah gak jelas. Cuma perkara pintu kamar ga ditutup aja."

Dewangga diam.

"Kamu tahu kan, aku gak suka kalau kamar yang jadi tempat privasi kita berdua, kelihatan sama orang luar? Kamu tahu kan?"

Aku menghela nafas. Kalau gak diselesaikan, hal-hal kecil yang bikin kita ribut ini takut jadi membesar.

"Iya tahu A. Cuma kamu gak perlu ngegas gitu atuh. Lagipula gak ada siapa-siapa di rumah, cuma aku aja Yang."

Mungkin sadar ia sudah bereaksi berlebihan, Dewa langsung meminta maaf.

"Maaf..."

Suami aku memang orangnya kelewat baik. Meski kita beberapa kali ribut soal hal-hal kecil kayak gini, dia ga pernah membiarkan kesalahpahaman kita berlarut-larut. 

Minta maaf itu bukan dilakukan oleh orang yang salah saja. Kami berdua membiasakan diri untuk saling maaf-maafan meski bukan lebaran.

Tentunya maaf itu harus dibarengi dengan kesadaran, dan berjanji buat gak mengulanginya lagi. Semacam anak kecil yang lagi tumbuh dewasa. 

Berbuat kesalahan, minta maaf, lalu berusaha gak mengulangi kesalahan yang sama. Kami juga seperti itu, berdua saling tumbuh dewasa dalam sebuah pernikahan.

Menikah DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang