Bagian 2

707 90 21
                                    

"Nanti ya, nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nanti ya, nanti. Sekarang ya, sekarang. Apa yang terjadi nanti nggak usah dipikirin sekarang, biar nggak stres."

-Gentala Senja.

◍✧◍

Langit sudah sore, tapi Gentala belum juga memutuskan untuk pulang. Dia masih betah menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya di taman kota.

Menghela napas cukup panjang, Gentala kemudian memejamkan mata. Rasanya menenangkan. Segala hal yang sempat mengganggu pikirannya sejak tadi hilang dalam sekejap mata. Sepertinya angin pun enggan membiarkan Gentala merasa sedih.

Atau mungkin justru sebaliknya? Angin sengaja memberi Gentala ketenangan sebab ia tahu kalau setelah pulang dari sini, Gentala akan mendapat luka yang bernama kesepian?

Entahlah. Gentala tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah saat ini. Kalau saat ini Gentala baik-baik saja, maka Gentala tidak perlu repot-repot memikirkan waktu beberapa menit ke depan.

Hidup adalah tentang sekarang. Bukan nanti, atau pun besok pagi.

Seharusnya.

Tapi, namanya juga manusia, mana bisa berpikir sesederhana itu. Buktinya saja sekarang Gentala sudah misuh-misuh lagi.

Dia ingin pulang, tapi tidak mau sendirian.

Kedua kakaknya pasti belum ada di rumah. Mengingat sekarang baru pukul empat sore. Biasanya Galang akan pulang dari kantor pukul delapan malam. Sementara Gilang pulang setelah restorannya tutup pukul sembilan malam. Itu pun kalau mereka pulang.

Ingat kalau Gentala bilang kedua kakaknya itu sedang simulasi menjauhi dirinya? Dengan dalih pekerjaan yang menumpuk, mereka sering sekali menginap di tempat kerja masing-masing. Padahal, mereka seharusnya tidak sesibuk itu. Apalagi Gilang yang tutup restoran jam sepuluh malam. Seharusnya dia bisa pulang. Tapi karena sesuatu hal yang masih belum bisa Gentala pahami, kedua kakaknya itu memilih jarang pulang ke rumah.

Jangan tanyakan ayah dan bunda dimana.

Ayah sibuk mengurusi perusahaan keluarga yang ada di Surabaya. Sementara bunda, bunda sudah bahagia bersama Tuhan di surga.

Iya, bunda sudah meninggal. Tiga tahun yang lalu, karena penyakit yang di deritanya sejak masih muda.

Gentala jadi merindukan bunda.

Apa Gentala berkunjung ke makam bunda saja, ya? Sepertinya bukan ide yang buruk. Lagipula sudah lama Gentala tidak mengunjungi bunda.

Gentala Senja..Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang