Moga, Pemalang, Jawa Tengah.

Mentari masih malu-malu saat aku mulai menapaki jalan menuju terminal Moga. Ditemani ransel berukuran sedang berwarna hitam yang ku penuhi dengan beberapa pasang pakaian, serta mengenakan gamis hitam simpel, jilbab instan sepaha berwarna biru donker dan sepatu hitam pemberian tanteku, aku menyusuri jalanan sendirian. Kali ini, pertama kali aku berangkat ke pondok mengenakan bus. Tinggal di rumah baru milik kak Farhan membuat perjalanan rumah-pondok terasa semakin panjang. Moga-Sragen memang tak sedekat Boyolali-Sragen saat aku masih tinggal bersama ayah bunda, namun, insyaAllah, perjalanan ini akan semakin berkah, toh, perginya seorang penuntut ilmu adalah jihad sampai ia kembali, maka, insyaAllah, jika diniatkan karena Allah, semuanya akan berkah.

Beberapa kali aku disuguhi pemandangan yang sedikit mengharukan, saat banyak para santri yang akan berangkat ke pondok masing-masing, terlihat dari cara mereka berpakaian dan membawa tas ransel besar. Para orang tua akan mengantar sampai terminal atau sampai depan pintu bus, melambai haru saat anaknya telah dibawa oleh bus yang mulai melaju. Senyum khidmat anak-anak yang ingin berbakti dengan cara menuntut ilmu, mengantarkanku pada ingatan tentang sahabat karibku, Bintang, Bintang Eirrieezzqqiemma Laitsa Fajrina, gadis cantik dengan tubuh ramping semampainya itu telah mengajarkanku begitu banyak ilmu kehidupan, tentang syukur yang tak diukur, dan sabar  yang begitu mengakar.

Berbeda dengan Nourisha Az Zahra yang kini telah menikmati sebagian hasil dari jerih payahnya di dunia, berteman amal yang aku pun tak tau seberapa. Risha pasti bahagia disana, insyaAllah. Kepergian mendadaknya bukanlah kepergian yang sia-sia. Ia telah mengingatkanku tentang seberapa indahnya bersyukur saat limpah ruah nikmat masih mampu ku cecap, agar saat nanti semuanya diminta oleh pemilik yang hakiki, hati ini tak akan merasa risau atau merasa kehilangan. Dari Risha  aku banyak belajar tentang kekuatan yang tak terlihat, kekuatan sabar yang mungkin tidak semua orang mampu untuk memilihnya. Cara risha menahan segala rasa sakit agar tak merepotkan orang-orang disekitarnya membuatku belajar arti kekuatan yang tak kasat mata. Ikhtiyar, sabar dan tawakal menyatu dalam ruang hati risha, meciptakan sosok tegar tanpa celah.

Risha benar-benar mengamalkan ilmunya tentang sabar. Sabar terbagi menjadi tiga, sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam bertaqwa pada Allah, dan sabar dalam menjauhi larangan Allah. Walau sabar dalam menghadapi musibah adalah tingkatan yang paling rendah, tetap saja, tak banyak orang yang mampu menajalaninya tanpa mengeluh, manusia tidak akan jauh-jauh dari kata kerja mengeluh, namun Risha mampu menutupi sepanjang itu tanpa celah. Allah benar-benar ciptakan makluk seindah itu di tengah dunia yang semakin gersang.

Bus bertuliskan santoso telah menyita ruang pikiranku, aku segera berjalan ke arah bus yang didominasi hijau tersebut dan segera menaikinya, duduk di jok paling depan karena aku anti dengan jok belakang, selain bau dan pengap, aku tidak yakin akan mempertahankan isi perutku sampai terminal Pemalang, jadi, lebih baik aku di sini, di sebelah kiri sopir bus yang tak sesangar sopir bus lain.

Si santoso melaju diantara pengguna  jalan lain. Melik-liuk santai dengan kecepatan sedang, menyalip kendaraan di depan yang sekiranya mampu didahului tanpa menimbulkan masalah.












-o0o-



Gandurejo, Gemolong, Sragen.

Malam sudah berlalu, namun pagi belum sempat menyapaku. Langit masih  gelap dengan bintang yang nyaris tersebar di seluruh permukaan langit. Lelah yang merayapi urat-urat tubuhku serasa ingin membunuhku, perjalanan yang memakan 10 jam lebih membuat tubuhku lemas.

Segera aku berjalan menyusuri jalanan sepi, melewati gedung sekolah  bertingkat tiga dan sebuah pohon beringin besar disebrang jalan. Sedikit menyeramkan karena menjelang pagi ini aku harus berjalan sendirian, tak ada ojek dan tak ada yang menjemput, Bintang masih datang besok pagi karena ada urusan yang harus dia selesaikan. Sampai di pertigaan terakhir, aku sedikit ragu untuk terus berjalan, jalananan sudah tak lagi bersemen, tersisa jalanan yang masih berupa tanah dan rumput liar di tepiannya. Namun arah yang ditunjukan GPS menunjukan bahwa aku masih harus berjalan lurus, melewati jalan tanah ini.

Sedikit ragu aku segera berjalan menyusuri jalan tanah tersebut, sedikit mengangkat gamisku agar tak menyentuh permukaan tanah yang masih agak basah, sepertinya, hujan baru saja berhenti. Tak lama, aku melihat bagian belakang gedung bercat abu-abu tua yang agak terlihat karena lampu jalan menyala, serta sedikit warna kuning yang mewarni tepian gedung. Sepertinya, gedung ini gedung terakgir, tak terlihat ada bangunan lagi setelah gedung abu-abu tersebut, yang tersisa hanyalah sawah, sawah dan sawah, sepertinya, karena semuanya terlihat gelap.










Permulaan, dikit dulu, yaak😇😇

Dalam Cinta Mihrab Ta'atTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang