00: Our First Met

58 19 2
                                    

Bandung, bulan Juli

Dua tahun sebelumnya...


Curah hujan yang mulanya sekadar rintik gerimis biasa kini merebak semakin besar bersamaan dengan tangan Abhimanyu menarik handgrip gas vespa matic-nya. Yang demikian menyebabkan bertambahnya rasa bersalah dan pikiran kalutnya kian mengakar dan menjadi-jadi. Sungguh dramatis memang, ia bahkan tak peduli lagi meski sebagian jaketnya sudah menjadi sasaran empuk air hujan yang menghantam kota Bandung siang ini cukup deras.

Tak terlintas sedikitpun dalam pikiran Abhimanyu untuk mengurangi kecepatan laju motornya yang saat ini melebihi ambang kewajaran. Punggung luarnya yang terlapisi jaket bomber hitam sudah hampir sepenuhnya basah, belum lagi tamparan kuat angin dari arah depan tentu ikut serta menghantarkan hawa dingin ke dalam tubuhnya. Ia bergidik.

Lelaki itu menggerutu dalam hati kemudian cepat-cepat menyisikan motornya pada bibir jalan dan memutuskan untuk mengenakan jas hujan. Kepalanya menyadari kebodohannya jika terus membiarkan tubuhnya diguyur hujan dan mengebut di tengah-tengah jalanan licin, sedang di sudut lain tempat terdapat seorang anak yang tengah menanti untuk dijemputnya. Matanya menoleh ke sepanjang jalan raya di kanan-kirinya: berjajar pula pengendara lain yang juga tengah sibuk mengenakan jas hujan. Ia pun menyegerakan diri membuka bagasi motor.

Yang sebenarnya, ketika dirinya masih berkutat di dalam kamar bahkan hingga saat ini tatkala kedua tangannya sibuk membaluti tubuh dengan jas hujan, hati kecil Abhimanyu tak sudah-sudah menyumpah serapahi dirinya sendiri.

Pasalnya, ia sadar akan kecerobohannya sebab terlampau fokus dan selalu tak ingat waktu jika seluruh pikiran dan matanya sudah disuguhi lembar-lembar buku sampai-sampai ia melupakan kewajibannya menjemput sang adik dari sekolah. Yang mana seharusnya, seperempat jam yang lalu kemungkinan besar adiknya sudah sampai di rumah. Itupun jika bukan karena gemuruh, ia bisa saja melupakan adiknya hingga petang tiba.

Abhimanyu menyentak kasar resleting atasan jas hujan hitamnya kala kedapatan penariknya terasa macet! Sungguh di waktu yang tidak tepat, dengan kondisi yang sama tidak tepatnya! Segalanya seolah sengaja mempermainkan kekesalannya! Ia menggeram kecil, tebing kesabarannya kian menipis. Benda kecil ini ikut-ikutan memancing emosinya saja! Jelas ia tak akan sejengkel ini jika tak sedang diburu waktu!

Lelaki itu menghembuskan napas, mencoba mengatur perasaannya sebaik mungkin. Entah hanya buah perasaan atau memang sudah aturan alam, saat sedang kalut, segala sesuatu pasti ikut semrawut, memancing emosi yang akhirnya ikut jua tersulut.

Abhimanyu mencoba mengalihkan pikirannya pada apa-apa saja yang positif, salah satunya: semoga saja sang adik masih menunggunya di sekolah dengan tidak coba-coba untuk pulang sendirian!

Ia menata perasaannya sembari mengedarkan indranya memperhatikan sekeliling. Sinar mentari bahkan sudah lenyap terhalang kelabu, angin berderu kencang menabrak pohon-pohon yang banyak tumbuh subur di pinggiran jalan, begitu pula dengan hilir mudik kendaraan menciptakan suara desau yang entah mengapa saat ini agak terdengar mengerikan.

Abhimanyu mencoba sekali lagi menarik resleting itu, dan,

berhasil.

* * *


Tadi saurna teh bade ka bumi rerencanganna sakedap ceunah, A Bima. Rasya kitu panginten, nya? Hilap deui bapak. Cekat ceunah di eta perumahan pungkur sakola, A”

Satpam yang kira-kira berumur setengah abad lebih sedikit dengan name tag akrilik yang menggantung pada salah satu dadanya bertuliskan "Ade Wawan" itu menunjukan ujung jarinya pada perumahan belakang sekolah. Abhimanyu mengenalnya baik, laki-laki hampir berumur ini sudah mengabdikan dirinya demi keamanan SD Negeri Tunggal Jaya sejak Abhimanyu mengeyam sekolah dasar di sini beberapa tahun lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our AdolescenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang