“Rio.” Rintih wanita muda yang lehernya dihisap rakus oleh Rio. Tangan wanita itu meremas rambut hitam Rio, bibirnya tak henti-hentinya mendesah memanggil nama Rio.
Dua insan itu kini tengah bercumbu di sofa klub, dimana banyak sepasang mata yang bisa melihat kegiatan mesum pasangan itu. Namun, tak ada yang mempermasalahkan. Kejadian seperti itu sudah biasa terjadi disini.
Rio menghentikan aktivitas mesumnya saat kepalanya mendadak sakit.
“Argh.” Erang Rio.
“Rio, kau kenapa?” Melly, wanita klub malam yang tadi bercumbu dengan Rio menatap Rio panik.
Rio diam tak menjawab. Tangannya memijat kepalanya yang sakit.
“Rio.” Melly berteriak panik. “Hidungmu..”
Rio merasakan benda cair keluar dari hidungnya. Pandangan Rio menggelap, kepalanya terasa berputar dan membuatnya pusing. Rio pingsan dengan darah di hidungnya.
Hal terakhir yang sempat Rio dengar hanyalah teriakan Melly.
Saat terbangun, Rio mendapati dirinya berada di Rumah Sakit.
Rio berniat bangun dari tempat tidurnya namun niatan itu terhenti saat kepalanya berdenyut nyeri. Ia memejamkan matanya sesaat untuk mengusir rasa nyeri yang mulai merambat ke dadanya.
“Anda sudah sadar?” Suara itu membuat Rio membuka mata, dilihatnya ada seorang lelaki setengah baya berpakaian putih berdiri didampingi satu orang perawat perempuan.
“Kapan aku bisa pulang?” Tanya Rio.
“Melihat rekap medis anda sepertinya anda sudah tahu penyakit anda.” Dokter Adam berbicara. “Kenapa tidak melanjutkan pengobatan?” Tanya Dokter Adam.
“Percuma.” Gumam Rio. “Aku bosan hidup seperti ini.”
“Tapi mumpung sakit anda masih-“
“Ya ya aku akan rawat jalan nanti, sekarang kapan aku boleh pulang?” Tanya Rio jengkel.
Tatapan Dokter Adam menyendu. “Setelah infusnya habis anda bisa pulang. Anda tahu kenapa anda bisa pingsan kan? Untuk selanjutnya minum vitaminnya dengan rutin.”
Cih. Rio berdecih. Minum vitamin dengan rutin katanya. Untuk apa? Toh, tak ada yang mengharapkannya hidup. Minum obat hanya akan memperpanjang rasa kesepiannya. Sepertinya mati terdengar lebih menyenangkan.
#
Ini sudah satu minggu berlalu sejak Rio pingsan. Ia menjalani hari-harinya seperti biasa. Saat ini Rio tengah berada di studio seninya. Besok ia akan mengadakan pameran lukisan. Kini ia sedang memastikan tak ada satupun yang kurang.
Rio seorang pelukis. Karyanya banyak sekali karena setiap hari ia selalu menghabiskan waktunya dengan melukis apa saja yang ia pikirkan.
Melukis membuat Rio lupa akan masalah hidupnya.
Bola mata Rio mengamati lukisan yang baru kemarin jadi, lukisan itulah yang besok akan menjadi lukisan utama.
Rio mengambil kuas dan mulai menggores kuas cat itu di tepi bawah lukisannya. Bibirnya tertarik keatas. Ia puas dengan karya utamanya.
Iblis menjemput. Itulah judul lukisan Rio.
#
Mata Shabila terpaku pada lukisan yang terpajang. Lukisan iblis berlumur darah hitam. Dalam hati shabila heran kenapa lukisan seram seperti ini dijadikan lukisan utama. Sebenarnya lukisan itu sangat menakjubkan karena terlihat hidup. Iblis yang ada di lukisan itu seolah nyata dan sedang menatap mata Shabila.
Kaki Shabila bergerak meninggalkan lukisan seram itu. Ia berniat melihat-lihat lukisan lain yang ada di pameran. Namun, kakinya terhenti saat tangannya digenggam erat oleh seseorang.
Shabila menoleh dan mengernyit heran. “Maaf? Anda salah orang?” Tanya Shabila saat matanya melihat seorang pria tampan yang menggenggam tangannya.
“Tidak.” Pria itu tersenyum aneh.
Shabila berniat pergi meninggalkan pria itu karena baginya pria itu terlihat aneh dan sedikit menyeramkan.
“Bagaimana menurutmu lukisan ini?” Tanya pria itu saat Shabila berniat pergi.
Shabila memandang lagi lukisan itu. “Seram.” Jawabnya jujur.
Pria itu tersenyum. “Menurutku lukisan ini sangat cantik.” Kata pria itu.
“Ah ya mungkin penilaian orang berbeda-beda.” Jawab Shabila ramah.
Pria itu tersenyum lagi, tangan kanannya terulur. Shabila menatap tangan itu tak mengerti.
“Aku sedang mengajakmu berkenalan.” Pria itu bersuara.
“Ah begitu.” Shabila tertawa canggung. Sebenarnya ia enggan berkenalan dengan pria yang menurutnya aneh, tetapi karena menjaga etika sopan santun Shabila pun menyambut uluran tangan pria itu. “Aku Shabila.”
“Nama yang cantik. Sepertinya orangnya.” Kata pria itu.
Tak ayal, pipi Shabila bersemu mendengar pujian itu.
“Anda belum mengatakan nama anda.” Kata Shabila.
“Namaku Rio. Aku yang melukis semua karya di pameran ini.”
Bersambung..
Halo,
Ini cerita pendek dan gak akan lebih dari 10 part.Cerita ini akan aku update setiap hari.
Semoga kalian suka ya.
See you,
Briana T
KAMU SEDANG MEMBACA
JANJI [SELESAI]
Short StoryRio mencintai Shabila. Rio rela memberikan hidupnya untuk Shabila. Cinta Rio untuk Shabila tak akan pernah padam bahkan jika Rio mati sekalipun. Jika Rio mati, tak ada yang boleh memiliki Shabila, karena Shabila terikat dengan Rio. *** Shabila ingin...