O4.

33 6 0
                                    

Dan sampailah Jidan beserta Hendra, bukan dirumah Jidan melainkan diajak melipir ke cafe dekat sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dan sampailah Jidan beserta Hendra, bukan dirumah Jidan melainkan diajak melipir ke cafe dekat sekolah. Alasannya? Jidan tergoda dengan promo cafe tersebut dan juga ingin mencoba choco mint ice cream yang ada disana.

Entah hasutan setan darimana Jidan mengiyakan ajakan Hendra, yang jelas sekarang mereka dilanda kecanggungan. Selepas memesan apa yang Jidan mau, kata Hendra..mereka hanya duduk diam saling mengalihkan pandang satu sama lain.

"Ndra..?", Jidan memulai pembicaraan..lebih tepatnya meminta penjelasan. "Tumben bukan kakak?", Jidan tersenyum mendengar pertanyaan lain untuknya. "Kita seumuran by the way", ujarnya santai. "But you called me 'kakak' first, Dan", Hendra menatap netra Jidan lekat tak lupa senyum tipis yang terpatri diwajah tampannya.

"Iya deh, kenapa kak? Gak mungkin cuma ngajak pulang bareng doang", Jidan mengalah..malas berdebat dengan laki-laki yang berstatus mantannya itu. "Kangen", jawab Hendra singkat tanpa mengalihkan pandangannya, senyuman tipis itu berubah datar..wajahnya beraut suram.

"Maafin kakak ya? katanya kamu nangis waktu itu, kakak kurang ajar ya sama kamu", jeda karena menu mereka yang sampai dan juga Jidan yang sedikit ke distract oleh ice cream miliknya. "Lanjut kak", ujar Jidan.

"Kakak cuma kangen sama kamu, jujur masih sayang sama kamu..cuma mau tahu kabar kamu gimana, maafin kakak ya?", Jidan mengangguk pelan sambil memakan ice cream miliknya cuek. "Udah dimaafin", jawab Jidan datar mengalihkan pandangannya dari Hendra.

"Sayang?", seketika geplakan terasa dikepala Hendra, lumayan keras sampai membuat si korban mengeluh kesakitan. "Stop it, sir! jangan bikin hati anak orang terbang-jatuh dong!", seru Jidan galak. "Kan udah mantan, kak? oh iya..kabar baik kok makasih", lanjut Jidan kembali normal.

"Tapi ya masih galau sedikit sih, belum bisa nerima kalau kita udah putus", Jidan tertawa getir, netranya menunduk kebawah tidak berani melihat kearah lawan bicaranya. Hendra mengulurkan tangannya, mengelus surai lembut Jidan yang dia rindukan..tersenyum paham apa yang dirasakan Jidan karena dia pun sama.

"Maaf, kakak emang egois sama kamu", Jidan menggeleng pelan, menyingkirkan tangan Hendra dari kepalanya pelan. Memasang senyum manis yang biasa ia tunjukkan, "Gak papa, maklum kok..udah biasa". Entah mengapa sebenarnya Jidan benci dengan kata 'udah biasa' karena ia selalu melontarkan kata itu ketika dirinya jatuh.

"Ujung-ujungnya kakak brengsek juga kan, sama kaya mantanmu yang lain", Hendra mengalihkan pandangannya, tidak mau melihat Jidan yang memasang wajah sedih itu. Ia paling tidak suka melihat Jidan sedih, apalagi karena dirinya.

Dulu, saat Jidan merasa sangat jatuh dan putus asa. Jidan hanya bisa menangis, kondisi keluarga membuat dia harus memasang tameng kuat seolah ia tidak apa-apa membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang sulit mengeluarkan ekspresi hatinya. Jidan menjadi anak yang kaku didepan banyak orang dan lemah saat ia sendirian. Kamarnya adalah ruang tempat dimana ia meluapkan emosinya.

Plot Twist (Isn't That Funny?) | SukhoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang