Chapter 1

1K 38 24
                                    

Di hari yang cukup cerah ini, didukung dengan suasana hati gue yang juga ikutan cerah, untuk pertama kalinya gue dapet tugas langsung dari Pak Tio -manajer gue- untuk meliput langsung kegiatan adat di Bali.

Harusnya gue seneng, dong, karena akhirnya gue bisa turun ke lapangan, liputan langsung. Tapi yang ada gue justru bingung harus merespons apa, karena gue harus berangkat ke Bali sendiri. Sekali lagi, SENDIRI.

Ini liputan untuk program TV, gue butuh tim, minimal cameraman. Gimana caranya gue wawancara sambil bawa kamera?

Terdengar suara kubikel diketuk dari samping. Gue sontak mendongak dan mendapati kepala seorang lelaki tampan sudah nongol di atas kubikel gue. Cowok itu tersenyum lalu mengulurkan segelas es kopi susu untuk gue.

Gue menerima kopi itu dengan heran, tapi mood gue yang tadi sempat berantakan gara-gara tugas dari Pak Tio itu mendadak jadi baik lagi. Farel Hardian, cowok yang baru aja dateng ini memang selalu jadi moodbooster terbaik gue.

"Biar nggak BT terus," ucapnya menjelaskan alasan di balik kopi yang dia berikan.

"Thanks, Kak. Memang terbaik, sih," balas gue lalu menyeruput kopi tersebut.

Kak Farel melangkah menuju kubikel di samping gue. Dia menarik kursi yang ada di sana, kemudian duduk mendekati gue.

"Masih BT gara-gara tugas dari Pak Tio, ya?" tanyanya.

"Bukan BT, sih, tapi kaget aja. Tetiba aja gitu Pak Tio ngirim gue ke Bali buat liputan. Sendirian pula. Gue ini belum pengalaman sama sekali buat terjun ke lapangan kayak gini, lho. Masa iya gue disuruh pergi sendirian?" gue menggerutu udah macem rapper, panjang dan cepet bener.

"Awalnya gue juga nggak setuju sama usulan Pak Tio. Tapi setelah sempat berdebat, akhirnya gue setuju lo berangkat ke Bali, dengan syarat pada saat penayangannya nanti lo sendiri yang bawain. Dengan kata lain, bentar lagi lo bisa debut sebagai host atau announcer."

"Kak, lo serius? Lo bercanda, kan?"

"Gue nggak pernah seserius ini, Tar."

"Lo belain gue di depan Pak Tio? Lo juga rekomendasiin gue buat jadi announcer?"

Kak Farel mengangguk.

Gue refleks berdiri dari kursi kemudian memeluk girang Kak Farel. Dia hampir saja terjatuh dari kursinya saking kagetnya.

"Kak, gue nggak tahu gimana harus bales semua kebaikan lo sama gue selama ini."

"Lo kira surat, pake dibales segala? Gue lakuin ini karena lo emang tanggung jawab gue."

"Maksudnya?" gue melepaskan pelukan gue dengan wajah yang bingung.

"Ya, gue kan atasan lo langsung. Semua pekerjaan lo itu dibawah tanggung jawab gue."

Gue ber-oh panjang mendengar jawaban Kak Farel. Gue pikir... ah sudahlah. Gue jadi malu sendiri.

"Gue tahu banget kalau sebenernya lo itu mampu jadi announcer, ide-ide lo sering out of the box, gue nggak paham aja kenapa lo masih aja dipertahanin di posisi junior writer kayak gini. Makanya gue rekomen lo ke Pak Tio supaya dia tahu skill lo yang sebenernya. Awalnya gue mau dampingin lo berangkat ke Bali, tapi kerjaan gue nggak bisa ditinggal."

Farel Hardian ini memang cowok idaman gue banget. Gue udah suka sama dia sejak lama. Kebetulan dia adalah senior gue di kampus. Kami memang sudah dekat sejak kuliah dulu.

Gue masih mematung sambil membayangkan hal-hal yang bisa saja terjadi kalau gue sama Kak Farel benar-benar berangkat ke Bali berdua. Sampai gue merasakan kening gue ditepuk pelan oleh sebuah tangan yang membuat gue hampir aja mengumpat karena merusak imajinasi babu gue.

Best Part ✓ [Completed] - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang