Chapter 10

120 21 3
                                    

Selepas meeting, aku dan Tara kembali menyusuri jalan raya menuju Desa Trunyan. Aku menyuruh Tara untuk beristirahat karena aku melihat lelah di wajahnya, tapi wanita itu bersikeras untuk tetap terjaga.

"Ta, itu gelang apa?" Tara menunjuk gelang yang aku pakai di pergelangan tangan kiriku.

"Ini? Gelang tridatu."

"Apa itu?"

"Orang Bali percaya warna hitam, putih, sama merah ini sebagai simbol perwujudan Dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu."

"Tapi katanya kamu bukan orang Bali?"

"Ajik yang suruh pakai. Lagian bagus juga kan dipakai buat aksesoris. Nyatanya kamu tertarik."

Tara mendecak kesal. Entah sudah berapa kali aku membuatnya kesal hari ini. Anehnya, aku suka melihat ekspresi sebalnya itu.

"Kamu mau?" tanyaku.

"Boleh?" dia balik bertanya.

"Ntar aku mintakan ke Ajik."

Dia mengangguk cepat. Girang sekali kelihatannya.

Tidak lebih dari sepuluh menit perjalanan dari kafe, kami sudah berada di kawasan Danau Batur, yang artinya aku dan Tara sudah harus turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan naik perahu untuk menyeberang ke Trunyan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak lebih dari sepuluh menit perjalanan dari kafe, kami sudah berada di kawasan Danau Batur, yang artinya aku dan Tara sudah harus turun dari mobil dan melanjutkan perjalanan dengan naik perahu untuk menyeberang ke Trunyan.

"Ra, kamu tahu Trunyan itu tempat apa, kan?" tanyaku saat kami sudah berada di atas perahu.

Dia mengangguk. "Iyaa ..., tempat pemakaman orang Bali, kan? Aku ke sini buat kerja, Ta. Jadi udah dikasih tau duluan."

"Cara pemakamannya kayak apa, tau?"

Tara menjawab dengan gelengan ragu. Aku memiringkan kepala dan mengernyit, tak mengerti dengan jawaban Tara. "Emang kamu nggak cari tau dulu sebelum ke sini?"

Tara menggeleng lagi. "Aku cuma dikasih tau kalau itu tempat pemakaman orang Bali selain dibakar," jawabnya lirih.

"Ra, kamu—" Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku sebab terlalu tidak habis pikir dengan gadis di sampingku ini. Bisa-bisanya dia kerja tanpa mencari tahu informasi terlebih dahulu tentang apa yang mau dia kerjakan. Terlebih, dia ke sini untuk liputan. "Terus, pertanyaan nanti untuk wawancara?"

"Kan, kalau wawancara begitu pertanyaannya paling seputar itu-itu aja."

"Template maksudnya?"

Anggukan Tara membuatku terkesiap. Aku bingung dengan cara kerja Tara. Aku tidak terlalu paham dengan bidang kerja Tara, tapi setidaknya aku tahu kalau sebagai seorang yang bekerja di stasiun televisi, wawasannya harus luas atau minimal rajin mencari informasi tentang apa yang hendak dia tayangkan.

"Ta, ini danau apa?" Suara Tara memecah lamunanku.

"Hm? Ini Danau Batur."

Tara ber-oh panjang sambil manggut-manggut.

Best Part ✓ [Completed] - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang