Chapter 15

114 21 2
                                    

Udah seminggu sejak gue pulang dari Bali dan gue masih dalam mode perang dingin sama Pak Tio. Gue masih sebal sama dia karena udah ngasih kerjaan yang konyol bin ajaib.

Selama seminggu ini pula, gue belum dapet update apa-apa tentang liputan gue di Bali kemarin. Seharusnya, kalau sudah sampai di bagian editing, liputan gue nggak perlu waktu lama buat tayang. Tapi, sampai sekarang gue masih belum dikasih jadwal kelanjutannya.

Gue beranjak dari kursi menuju sudut ruangan karena ada berkas yang harus gue fotokopi. Belum sampai mesin fotokopi, gue melihat papan timetable yang berisi jadwal acara beserta konten dan pengisi acaranya. Papan tersebut di-update setiap hari.

Entah kenapa, gue tiba-tiba tertarik untuk memperhatikan papan itu. Gue mencari acara Wonderful Indonesia yang tayang malam ini. Liputan tentang Bali seharusnya untuk acara tersebut.

Mata gue spontan melotot saat menemukan tulisan Bali di kolom acara Wonderful Indonesia itu. Gue refleks balik badan seraya berjalan cepat mencari seseorang yang bisa menjelaskan hal ini ke gue. Begitu melihat sosok yang gue cari, gue langsung mendekat lalu menarik tangannya, agak memaksanya untuk mengikuti gue.

"Ada apa, Tar? Pelan-pelan." Pria itu sedikit memberontak, tapi tetap mengikuti gue.

Sampai di depan papan timetable, gue berhenti dan menunjuk di kolom dengan tulisan Trunyan, mata gue menatap tajam laki-laki di depan gue. "Ini tayang ntar malem, Kak?" tanya gue ke Kak Farel tanpa basa-basi.

Kak Farel menoleh ke arah tunjuk gue. "Ah, itu. Iya, Tar, itu tayang ntar malem," jawabnya terdengar agak kaku sambil menoleh ke gue lagi.

"Gue rasanya belum pernah diajakin syut buat ini." Gue berusaha mengendalikan intonasi bicara gue, padahal sebenarnya gue udah emosi banget sekarang.

"Tar, dengerin dulu. Sebelumnya, gue minta maaf. Gue tahu lo pasti marah karena ini. Gue udah berusaha buat bujuk Pak Tio supaya lo yang jadi host acara ini, tapi Pak Tio tetep pengin Marsha yang bawain."

"Kenapa nggak kasih tahu gue dulu, sih? Waktu gue nanya tentang liputan ini tempo hari, lo bilang kalau semuanya aman, kan, Kak?"

"Sorry, Tar. Gue tahu gue salah banget, nggak bisa belain bawahan gue sendiri. Lo pasti marah sama gue. Tapi, gue nggak bisa apa-apa karena Pak Tio yang minta."

Gue berkacak pinggang dengan napas yang memburu. Emosi gue sudah sampai ubun-ubun.

Gue nggak marah karena gue nggak jadi host di acara ini, tapi gue kecewa karena gue nggak dikasih info apa-apa tentang kelanjutan proyek ini. Gue, lho, yang susah payah liputan ke Bali sendirian, sekarang kesannya gue jadi nggak dilibatin sama sekali.

Tangan Kak Farel terangkat, melingkar di pundak gue. "Sorry, ya. Sekarang kita pulang aja, yuk. Gue anterin."

Gue melepaskan tangannya, lalu mundur dua langkah menjauh. "Nggak usah, Kak. Makasih." Gue balik badan terus ninggalin Kak Farel begitu saja.

Berjalan pelan dengan kepala tertunduk lemah, gue merutuki diri sendiri. Sejak awal, gue tahu ada yang nggak beres sama kerjaan ini, tapi gue nggak nyangka gue bakal dibego-begoin kayak gini. Gue udah mirip kayak pecundang yang siap dijadiin bahan tertawaan siapa aja. Bisa-bisanya, gue percaya aja kalau gue bakalan naik jadi host kalau gue mau ke Bali sendirian kayak kemarin.

Kaki gue berhenti di depan ruang editing. Gue mengetuk pelan pintunya, tapi masih bisa didengar dari dalam. Setelah mendapat respons dari dalam, gue buka pintunya dan melongokkan kepala gue di balik pintu.

"Hei, Tar, masuk," sambut Mas Gilang dari balik komputernya.

Gue masuk dan langsung mengambil duduk di sebelah Mas Gilang.

Best Part ✓ [Completed] - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang