Sejak kehadiran Tara, rasanya aku jadi tambah sibuk. Entah kenapa, Ajik suka tiba-tiba melibatkan aku dalam urusan Tara, atau sebaliknya. Tumben Ajik sebegini perhatiannya sama tamu. Biasanya care juga, sih, tapi baru kali ini tamu dilibatkan di beberapa kegiatan keluarga kami yang bisa dibilang sifatnya agak pribadi.
Hari ini sebenarnya rencanaku hanya mengantar Ziva cari kos ke Nusa Dua. Tapi karena Tara ikut, Ziva jadi mengajaknya ke pantai Pandawa.
Sepulang dari Nusa Dua dan Pandawa, aku berniat untuk istirahat saja karena besok aku harus pergi selepas Subuh. Tapi lagi-lagi Ajik nyuruh aku untuk menemani Tara yang diajak ke pura untuk melihat prosesi upacara purnama, yang kebetulan memang jatuh pada hari ini. Pengin protes, tapi aku tidak berani.
Usai bersih-bersih diri, aku jalan duluan ke pura. Tidak sabar menunggu Ziva dan Tara yang dandannya lama sekali.
Aku bertemu dengan beberapa teman dan tetangga sebayaku yang hendak sembahyang, kami mengobrol tentang banyak hal. Sampai akhirnya atensi kami teralihkan oleh kedatangan Ziva dan Tara.
Mataku tidak bisa lepas dari sosok Tara yang berbusana kebaya di depan sana. Dia terlihat sangat berbeda dari penampilannya yang biasanya. Tetap cantik, tapi kali ini dia terlihat lebih anggun. Rambutnya dikucir kuda, memperlihatkan leher jenjangnya. Rasanya mataku tidak sanggup beralih darinya, bahkan untuk hanya sekedar berkedip pun aku tidak rela.
Ah, aku baru sadar, ini pertama kalinya aku melihat dia dengan rambut diikat seperti itu. Biasanya dia membiarkan rambutnya yang berwarna agak kecoklatan itu terurai, menyentuh pundaknya.
Kehadiran Tara disambut baik oleh teman-temanku. Terlalu baik sampai menyangka Tara ini pacarku. Ck, bisa-bisanya!
Suara lonceng yang dibunyikan Pemangku, yang menandakan sembahyang akan segera dimulai, memberiku kesempatan untuk membubarkan gerombolan ini supaya tidak semakin gencar menggodaku. Aku menyuruh mereka untuk segera masuk ke dalam pura.
Setelahnya, aku juga mengajak Tara menyusul masuk ke dalam pura, dan mulai memberi tahu prosesi-prosesi yang perlu dia rekam begitu kami sudah berada di dalam.
***
"Gue boleh tanya sesuatu?" Suara Tara memecah keheningan di antara kami berdua yang sedang duduk bersisian di sudut belakang pura.
Aku mengangguk.
"Tapi jangan marah, ya. Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa."
Sepertinya aku tahu apa yang akan dia tanyakan.
"Lo kenapa nggak ikut sembahyang?" lanjutnya.
Tepat sekali perkiraanku.
"Aku bukan orang Bali, kok," jawabku santai sambil menyandarkan punggungku ke kursi.
Tara menoleh ke arahku. Dia terlihat kaget.
"Yang orang Bali, tu, Ajik. Mama ikut Ajik. Otomatis Ziva juga orang Bali. Aku bukan."
Tara masih menatapku dalam diam. Ada perasaan asing yang muncul dalam diriku. Dada dan perutku terasa aneh. Entah apa.
"Aku bukan anak kandung Ajik sama Mama," lanjutku dengan nada bicara kubuat setenang mungkin.
Namun, aku merutuki diriku sendiri setelahnya. Kenapa aku dengan mudahnya memberi tahu Tara tentang hal itu? Bukan sesuatu untuk dirahasiakan memang. Tapi yang jadi masalah, aku baru kenal Tara dua hari. Dia orang asing yang seharusnya tidak perlu tahu masalah pribadiku.
~~
Pikiranku melayang ke masa 15 tahun yang lalu, saat Ibu mulai sakit-sakitan. Aku masih tinggal di Bandung bersama Ibu. Mama dan Ajik juga masih di Bandung. Mereka yang membantuku merawat Ibu. Padahal, mereka juga harus mengurus Ziva yang baru berumur dua tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Part ✓ [Completed] - TERBIT
RomancePart masih lengkap, tapi ending di WP sama versi cetak berbeda. Di versi cetak juga ada extra chapter yang tidak diunggah di WP. Hubungi saya bagi yang mau peluk Arsan dan Tara versi cetak ☺️ --- Blurb Tara sama sekali tidak menyangka akan menjadi d...