Chapter 31

113 20 4
                                    

"Mau kemana, Tar?" teriak Bang Satya yang melihat gue meninggalkan kafe dengan langkah tergesa.

Sambil terus menunduk, gue nggak menggubris panggilan Bang Satya dan para pegawai Arsan. Gue berusaha menyembunyikan mata gue yang sudah penuh air mata.

Gue masuk ke rumah, menjatuhkan diri di lantai begitu saja. Air mata gue makin deras mengalir seiring dengan suara gue yang juga makin kencang. Dada gue rasanya sakit sekali. Sesak, nyeri, ngilu, semuanya bercampur menjadi satu.

Entah sudah berapa kali gue nangis gara-gara Arsan. Tapi, gue rasa ini yang paling parah. Karena setelah malam ini, status gue dan Arsan berubah.

Ralat, gue dan Arsan bahkan belum pernah punya status apa-apa. Hubungan kami sudah selesai sebelum dimulai. Kisah cinta gue selalu saja berakhir sebelum dimulai. Tragis banget.

Gue pikir, Arsan akan jadi tempat terakhir untuk hati gue berlabuh. Dia kelihatan tulus banget sama gue. Tapi, lagi-lagi gue salah. Kayaknya gue terlalu gampang percaya sama cowok.

***

Hari libur dan patah hati adalah kombinasi yang paling brengsek yang pernah ada. Ditambah lagi, orang yang bikin gue patah hati tinggal di rumah yang sama.

Gue bingung mesti keluar atau tetap di rumah saja. Kalau gue keluar, nggak menutup kemungkinan Arsan menghadang gue di luar. Gue masih malas ketemu dia. Tapi, kalau di rumah terus, yang ada gue makin stres.

Suara dering telepon membuyarkan lamunan gue, membuat gue terpaksa bangun dari kasur, menuju meja rias, tempat ponsel gue berada dan mencari tahu siapa yang menelepon.

Arsan Tarachandra is calling...

Gue hampir saja refleks menerima panggilan itu. Tapi untung saja, gue langsung sadar diri dan segera meletakkan benda itu kembali ke atas meja rias sambil terus memandangi layar yang masih menampilkan nama lelaki itu.

Setelah panggilan berhenti, notifikasi pesan langsung masuk.

Arsan Tarachandra
Ra,
please, jawab teleponku

Arsan Tarachandra
Aku minta maaf buat yang semalem
Aku mohon kasih aku kesempatan buat bicara

Arsan Tarachandra
Angkat teleponku atau aku ke atas sekarang

Gue membaca pesannya tanpa berniat membalas sama sekali. Nggak lama setelah itu, Arsan benar-benar kembali menelepon.

Lagi-lagi, gue nggak menjawab panggilan Arsan. Saat emosi gue lagi nggak stabil kayak gini, gue lebih suka nggak banyak omong, apalagi sama orang yang bersangkutan. Karena bakal percuma juga kalau gue paksain ngomong juga. Emosi gue bakal memuncak lagi dan yang ada malah makin memperkeruh keadaan.

Nggak lama kemudian, pintu rumah gue diketuk. Suara Arsan terdengar dari luar.

Dengan langkah ragu-ragu, gue berjalan mendekati pintu. Gue pegang gagang pintu tanpa membukanya.

"Ra, aku tahu kamu di dalem. Tolong, buka pintunya dulu, hm? Kita harus bicara."

Cengkraman di gagang pintu makin mengerat seiring dengan suara Arsan yang terdengar serak. Gue menggigiti bibir untuk menahan rasa perih di dada yang kembali muncul.

Gue tempelkan kepala di pintu, memejamkan mata untuk menahan air mata yang sudah siap meluncur kapan aja.

"Oke, kalau kamu nggak mau ketemu aku nggak apa-apa, tapi dengerin aku, Ra. Semalem aku sama sekali nggak bermaksud buat ngomong kasar ke kamu. Tapi, aku juga tahu aku nggak berhak membela diri karena nyatanya aku memang udah nyakitin kamu. Ribuan kata maaf pun kayaknya nggak bisa menebus kesalahanku. Tapi, aku mohon tarik kata-kata kamu yang kemarin, Ra."

Best Part ✓ [Completed] - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang