5. PAIN

508 66 0
                                    

Pagi telah tiba seperti biasanya aku menjalankan aktifitas membosankan ini. Saat tiba di gerbang sekolah mata kami bertemu, Ye joon apa lagi maunya? dia menatap ku berbeda dari biasanya lalu orang itu mendekati ku. 

"Bagaimana kabar ayah mu?" aku mengernyit bingung, "sepertinya kau sudah merasa bebas ya? karna kedatangan badan hak pendidik? sebenarnya ini baru di mulai Lee Sarang."

Mendengar itu membuatku merinding, apa maksud orang itu? dengan berlarian aku menuju kelas memastikan apa Jaehyuk sudah tiba atau belum dan ternyata dia sedang duduk dengan tenang di mejanya.

"Kau kenapa seperti dikejar setan?" tanya nya tak sopan, "bukan di kejar, tapi baru bertemu setan, kau baru sampai tidak diganggu kurcaci itu kan?" tanya ku mengeluarkan buku yang ku pinjam semalam, "tidak.." Ujar nya "ini bukumu."

Setelah itu aku memilih melamun, cuaca diluar sangat bagus untuk ke roof top tapi mood ku sedang tak ingin kemana pun, Jaehyuk sepertinya juga menyadari, "kau kenapa? ada masalah?" tanya nya menutup buku pelajarannya, "tadi Ye joon mengatakan hal aneh, apa maksud dibalik itu?"

"Memang nya dia mengatakan apa?" aku menatap Jaehyuk, "tidak bukan hal penting" tak lama bel masuk berbunyi, walau mataku fokus dengan penjelasan guru tapi pikiran ku entah kemana.

~ ~ ~

Sepanjang hari tiap bertemu dengan 2 orang itu mereka selalu tersenyum mengerikan padaku, apa yang sedang direncanakan manusia busuk itu? makan pun aku tak bisa. 

Waktu berlalu begitu cepat atau hanya perasaan ku saja? menghabiskan waktu di roof top seperti makanan sehari-hari ku hingga perlahan malam kembali menyapa, ponselku berdering, "Appa?" aku mendapat pesan singkat dari nya, "Appa tunggu dirumah, ada yang harus kita bicarakan, cepat datang." 

Hanya itu, dengan malas aku menuju rumah ayah yang lumayan dekat dengan mini market saat bertemu pak Na Hwajin, "ah sepertinya mau hujan, ada apa sebenarnya?"

~ ~ ~

"Ayah? ada apa malam-malam begini tumben?" bukannya menjawab ayah meminta ku duduk, rasanya aku seperti di introgasi, "kau buat masalah apa lagi dengan Ye joon?" 

Aku tak percaya, jadi ini yang dimaksud orang itu. "Aku tak melakukan apapun ke dia..." Ayah meneguk kopi nya menatapku tajam, "apa yang kau mau? ayah memohon padamu untuk tak cari masalah dengan anak anggota dewan itu? tolong! jangan lakukan apapun bahkan jika dia mengganggu mu!" aku berdiri menatap ayah tak percaya.

"Mwo? Appa mau aku menerima semua perlakuan si brengsek itu? ayahnya mengancam apa? perusahaan papa bisa bangkrut jika aku tak tinggal diam melihatnya mengganggu ku dan sahabatku?!" 

Nafas ku tak beraturan rasanya, "ya, terima saja semua perlakuannya selama kau tak mati, itu masih bisa di terima kan?" ayah menatapku dingin.

"Ayah gila?! mementingkan pekerjaan dari pada anak sendiri?" mata ku terasa panas, "apa aku tak bisa jadi prioritas mu dan ibu? apa aku tak bisa merasakan hubungan ayah anak seperti dulu lagi?!" Ah aku paling tak bisa membahas masa lalu seperti ini.

PLAK! 

Satu tamparan melayang, rasa panas menjalar di pipi  ku, "seharusnya saya bisa memilih, siapa yang harus mati, kenapa kau tak bisa melindungi nya dulu seperti saat melindungi Jaehyuk?!" Aku terdiam mendengar itu.

"Lee Sarang jawab ayah! kau merasa bersalah padanya? karna itu selalu menghajar siapapun yang mengganggu Jaehyuk?"

Aku tak percaya dengan perkataan ayah barusan, bagaimana dengan teganya dia mengungkit trauma yang masih sulit ku sembuhkan bahkan rasa takut dan penyesalan yang dengan susah payah ku lupakan itu?

"Ya, karna aku gagal melindungi nya aku tak akan membiarkan para pembully itu melukai orang terdekatku lagi! Jaehyuk sudah seperti adik bagiku!"

PLAK!

Satu tamparan lagi mengenai ku, "hidup lah dalam penyesalan, dengar ucapan appa, jangan berurusan dengan Ye joon lagi, atau..."

"Atau appa akan membunuhku?" air mataku tak bisa lagi kutahan, "jika perlu... akan ku lakukan, anak ku hanya Nam joo, dan kau yang sudah membunuhnya." 

Sangat sakit mendengarnya seperti ini, aku memutuskan meninggalkan rumah itu, sejak kapan hujan? aku menerobos hujan dan dinginnya hujan tak lagi terasa.


Aku memang sudah terbiasa jika dipukuli tapi, hati ku sangat lemah. Omongan ayah lebih menyakitkan dari apapun, aku jalan tanpa tau arah. 


"Sarang kenapa hujan hujan begini?" aku menatap sang pemilik suara, "pak, sakit..." pak Na kenapa dia selalu ada di saat seperti ini. "pipi mu, siapa yang memukul mu?" Dia menyentuh pipi ku ingin bicara mulut ku pun rasanya terkunci, aku hanya tertunduk disana.

"Ayo masuk." Saat akan melangkah rasa pusing mendera dan tak lama semuanya gelap.

Na Hwajin POV.

"Aigo Lee Sarang!" anak ini pingsan, aku menyentuh keningnya benar saja dia demam, suhu tubuhnya sangat tinggi, dengan segera aku membawa nya ke rumah sakit terdekat, "bertahanlah."

~ ~ ~

"Bagaimana kondisinya?" dokter yang memeriksa tersenyum, "suhu nya sudah turun dan saat sadar nanti bisa langsung pulang, saya permisi pak." 

Aku menatapnya, wajahnya sangat berbeda dari biasanya, terlihat kesedihan di wajah itu, tak lama anak ini tersadar. "Kau di rumah sakit tadi pingsan jadi saya bawa ke sini." 

Aku menjelaskan dan bukannya menjawab dia malah berdiri, "mau kemana?" tanya ku, "pulang, maaf merepotkan bapak lagi." 

Setelah itu dia berjalan meninggalkan ku, "hey tunggu biar saya antar," tak menjawab lagi dan kami segera meninggalkan rumah sakit menuju rumah Lee Sarang.


"Ku bantu, jalan pelan-pelan saja." Wajah anak ini masih pucat dan tenaganya pun seakan tak ada.

~ ~ ~

Sarang POV

"Kalau begitu istirahatlah" pak Na, lagi-lagi aku menyusahkannya, "masuklah cuacanya dingin" ucapnya sementara baju pak Na juga basah, "bapak ayo masuk..." entah kenapa aku mengatakan itu tapi aku tak mau pak Na Hwajin pergi, aku membutuhkannya.

"Kau istirahatlah ini sudah malam." Beliau menolak seperti kemarin, "saya mohon..." ucapku pelan.

Na Hwajin POV

Tangan kecil nya menahan tangan ku agar tak pergi entah kenapa aku juga tak ingin meninggalkannya sendirian disaat seperti ini, aku menurutinya. 

Rumahnya sangat sepi. Dia meninggalkan ku dan menuju kamarnya, "pak gantilah pakaian bapak, ini hoodie ku yang paling besar mungkin muat" aku menerima nya, "baju bapak sangat basah nanti bapak bisa sakit, gantilah di kamar" ucapnya, ah aku ambigu mendengarnya, aku mengganti pakaian ku, dan ini pas juga untuk ku, aku kembali menemuinya.

"Ini teh hangat untuk bapak," aku memperhatikannya, "Tak perlu menyiapkan apapun, kau sakit, dan kenapa dengan pipimu?" aku duduk di dekatnya, "ini sudah biasa pak..." anak ini membuatku kesal bagaimana dia menganggap ini hal biasa?

Tanpa sadar aku menyentuh pipinya yang bengkak, tangan ku basah. dia menangis, "Sarang katakan siapa.." dia tertunduk dan aku menangkup wajahnya, mata yang sembab, saat disekolah aku tak pernah melihatnya menangis karna di pukul tapi..." tatapannya seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa, "Ayah, yang melakukannya... apa benar aku yang membunuh adik ku.." 

Mendengar nya membuatku tak tega, aku memeluknya berharap dia tenang.

Dear Na HwajinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang