001. Viviana

477 291 525
                                    

Sekuat tenaga Vivi mencoba memejamkan matanya. Namun, entah kenapa kantuk tak kunjung menyerang, padahal wanita itu mempunyai jadwal yang sibuk di esok hari. Hingga ia memutuskan mengalah pada raganya yang sepertinya memang belum mempunyai niat untuk terlelap.

Perlahan beranjak dari ranjang, berusaha tak membuat suara sekecil apapun agar sang suami tak terbangun. Pelan tapi pasti, melangkah menuju dapur berniat untuk menyeduh teh hangat yang semoga saja bisa membuatnya mengantuk.

Mengambil 1 teh celup dan menambahkan 2 sendok teh gula, menyadari bahwa stok gula yang ada tinggal sedikit dan mungkin hanya cukup untuk esok hari. Baru menyadari sekarang adalah tanggal 30, yang artinya besok sepulang kerja ia harus singgah di minimarket untuk membeli semua kebutuhan bulanan mereka.

Wajar saja, mengingat rumah ini dihuni oleh 4 orang, 2 orang dewasa dan 2 remaja laki-laki. Pasti kebutuhan bulanan juga meningkat dan kadang stok yang harusnya cukup untuk sebulan malah habis lebih cepat. Mereka tak pernah mempermasalahkannya, karena Ardhan dan Adnan memang masih di usia remaja yang bertumbuh kembang, artinya mereka butuh asupan gizi yang cukup agar dapat tumbuh dengan baik.

Vivi dan suami mempunyai 2 anak kembar laki-laki yang mereka beri nama Ardhan dan Adnan. Walaupun jarak kelahiran mereka hanya 8 menit, 2 anak itu rasanya seperti pinang dibelah-belah, kepribadiannya benar-benar bertolak belakang. Ardhan yang mempunyai sifat sedingin kutub utara dan malas berbicara, berbanding terbalik 180 derajat dengan Adnan yang selalu ceria, banyak bicara dan aktif dalam hal apapun.

Mereka berdua juga mempunyai keahlian di bidang yang berbeda. Ardhan sang kakak sangat pintar dalam mata pelajaran bahasa inggris dan matematika, bahkan anak itu masih sempat aktif di organisasi dan sekarang menjabat sebagai wakil ketua osis. Hal tersebut selalu membuat Vivi mengatakan bahwa Ardhan pasti menuruni otak pintar ayahnya yang selalu senang menyelami rumus matematika.

Sedangkan Adnan si bungsu lebih mirip dengannya, sangat tertarik dengan seni musik dan mata pelajaran bahasa indonesia. Saat di rumah, anak itu selalu ingin menunjukkan kepada orang rumah tentang keahliannya bermain gitar. Vivi juga sering membaca beberapa novel karya Adnan yang tersusun rapi di rak buku. Menurutnya, novel-novel tersebut sangat rapi dalam pemilihan kata dan mempunyai ide cerita yang segar serta menarik. Namun, Adnan masih terlalu malu untuk mengirimkannya pada penerbit.

Hal tersebut membuat Vivi sangat senang mengetahui kedua anaknya mempunyai keahlian yang bisa mereka tekuni dengan senang hati, karena dari awal Vivi memang tak ingin memaksakan apa yang harus mereka suka dan tidak.

Vivi tersenyum kecil, sedikit terharu menyadari buah hatinya yang ia sayangi lebih dari diri sendiri itu sudah besar. Juga sedikit sedih mengingat mereka akan segera berkuliah dan menikah. Hal itu membuatnya tersadar bahwa usianya tak muda lagi, bukan lagi seorang gadis yang menangisi laki-laki antah berantah selama berjam-jam di dalam kamarnya. Kini usianya 41 tahun, banyak hal yang sudah ia lalui selama ini.

Berharap saat masa pensiun tiba, kegiatannya hanyalah bersantai sambil menimang cucu. Mungkin saat itu, ia akan mempunyai banyak kucing peliharaan agar tak kesepian.

Beberapa saat berlalu namun Vivi masih sibuk mengaduk teh, meruntuki kenapa gula-gula itu tak kunjung mencair. Sejenak ia berhenti, menyadari ada suara aneh yang sayup terdengar dari arah lantai 2. Vivi meninggalkan teh tersebut, memilih untuk mengecek apa yang sedang dikerjakan sang anak.

Ternyata pintu kamar tak sepenuhnya ditutup, memang kebiasaan anak ini tak bisa diubah sejak dahulu. Vivi sedikit mengintip dari celah pintu. Menyadari bahwa anaknya yang sangat dingin dan tak pernah mempunyai niat berbicara dengan siapapun itu, sekarang sedang terisak. Vivi sontak terkejut, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Perlahan masuk dan memeluk anak sulungnya, bertanya-tanya dalam hati apa yang menyebabkan ia terisak tengah malam begini. Memeluk anak itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, mencoba memahami bahwa ia hanya butuh dekapan, bukan jejalan pertanyaan.

Setelah dirasa keadaan membaik, Vivi kembali ke kamarnya. Melihat sang suami yang ternyata sudah terbangun entah kenapa. Perlahan masuk ke selimut dan menyender pada suaminya yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dengan mengetik beberapa kata di laptop. Menghembuskan nafas yang langsung membuat laki-laki itu menutup laptop, bertanya apa yang terjadi sampai-sampai putra mereka terisak larut malam begini.

Vivi menyadari bahwa suaminya ini tak pernah berubah, selalu peka dengan keadaan sekecil apapun tapi selalu memilih diam dan tak pernah bertindak.

"Aku tak bertanya apapun, tapi sepertinya masalah remaja yang putus cinta" kata Vivi dengan tetap mendekap lengan sang suami.

"Ah.. remaja memang selalu begitu ya. Tapi cinta saat remaja memang seperti itu bukan? sepertimu yang tak pernah melupakan sesuatu."

Jantung Vivi berdetak lebih cepat daripada beberapa saat lalu, menyadari bahwa perkataan sang suami menjorok pada suatu hal. Hal yang tak pernah ia lupakan sampai sekarang. Rentetan tentang kejadian saat ia masih muda, tentang kisah cinta monyetnya yang tak pernah benar-benar usai.

Vivi tau bahwa sang suami paham betul ia tak pernah bisa melupakan laki-laki itu. Laki-laki yang membuatnya membenci hari minggu, yang membuatnya selalu menantikan upacara bendera agar mereka bisa bertemu.

Vivi meremat pelan lengan sang suami, berusaha tak terlihat gugup, "Sudahlah, tidak usah membahas hal yang tidak penting".

Baru ia sadari bahwa hujan turun malam ini, membuat kenangannya terasa makin segar. Mau tak mau memutar memori itu kembali, mengingat beberapa hal yang tak ingin diingatnya namun tak pernah ia coba lupakan.

Semua ini dimulai saat itu, saat ia diterima menjadi siswa dari SMP favorit di daerahnya. Walaupun namanya tertera pada urutan 121 di SMP Wirabrata, tapi rasanya begitu membanggakan, membuat ia sangat menunggu-nunggu hari MPLS datang.

Hingga saat itupun tiba, tapi Vivi malah merasa sangat tak nyaman dengan sekolah ini. Entahlah, mungkin lebih tepat disebut jika ia tak nyaman dengan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa dirinya agak lambay dalam bergaul. Pun sifatnya yang tak banyak omong membuatnya yakin akan sulit mencari teman. Rasanya ia hanya ingin segera pulang ke rumah dan merasakan hangatnya kasur.

Saat waktu pulang sekolah tiba, saat itu Vivi sedang menunggu jemputan sang kakak di depan pintu gebang sekolah. Sibuk memperhatikan lalu lalang kendaraanyang lewat sambil meremat ujung tasnya.

Tak begitu menyadari saat anak laki-laki itu muncul dan berdiri tepat di sampingnya, ikut memandangi lalu lintas juga, sepertinya ingin menyebrang.

Mencoba memperhatikan anak laki-laki yang mempunyai postur badan yang sangat tinggi, tegap dan entahlah mungkin sedikit mempesona? Hal tersebut sontak terpikir di benak Vivi. Kacamata kotak yang ia kenakan membuatnya terlihat seperti anak yang pandai. Rambutnya disisir dengan tidak benar ke arah samping, terlihat urakan tapi tak mengurangi ketampanannya.

Dan saat itu juga Vivi tahu bahwa ia telah terjatuh dalam pesona anak laki-laki yang baru dilihatnya 2 menit lalu. Tak pernah menyangka jika kisah mereka akan begitu berliku tanpa menemukan kata usai maupun akhir.

to be continue

Hello, dear readers who i love🤍
Let's vote, comment and follow as support to author. Please don't be a silent readers babe
@moshiemou

Who's The Tall Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang